Beripat Beregong, Tradisi Cambuk Rotan dari Belitung

0
4903
Tempat Pertunjukkan Beripat Beregong

Belitung, Provinsi Bangka Belitung begitu populer sebagai daerah kunjungan wisata dampak efek dari film Laskar Pelangi yang latar filmnya banyak menampilkan keindahan alam bumi Belitung. Tak hanya alamnya yang indah, daerah ini juga banyak memiliki tradisi budaya yang unik. Salahsatunya tradisi beripat beregong, seni pertunjukkan adu ketangkasan memakai rotan.

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri bulan September 2018 ini melakukan perekaman atau pembuatan film dokumenter tentang tradisi ini di Belitung. Diharapkan dengan adanya dokumentasi yang bagus, seni pertunjukkan yang mulai memudar ini bisa dilestarikan. “Tim kami melakuka perekaman tradisi beripat beregong. Kami mengandeng production house (PH) yang menggarap film ini,”kata ketua pelaksana kegiatan perekaman, Hendri Purnomo, Senin (3/9) kemarin.

Beripat beregong ini biasanya dapat ditemui saat pelaksanaan tradisi tahunan Marastaun di Belitung. Cara memulai permainannya pun tidak mudah karena harus ada persiapannya cukup banyak, mulai dari selamatan sampai pembangunan rumah tinggi sekitar 6-7 meter. Tempat ini juga digunakan digunakan para penabuh alat musik. Dalam menaikkan alat musik ke rumah tinggi, tak boleh dilakukan sembarangan karena harus dipimpin ketua adat atau ahli waris pemilik gong.

Tradisi ini juga harus dihadiri oleh para petinggi adat, juru pisah, dan pencatat jumlah pukulan. Setelah semua siap, barulah pria-pria yang ingin mencoba ilmu itu menemui sang tetua untuk ditanya asal rumah. Pasalnya, para pria yang akan bertanding tidak boleh berasal dari kampung yang sejalan. Bila dukun sudah menyetujui mereka bertanding, maka dia lelaki tersebut bisa langsung menuju arena.

Hal lain yang harus dilakukan sebelum memulai duel adalah dengan memeriksa rotan yang akan digunakan. Senjata tersebut akan diukur sama panjang sebelum digosok menggunakan air yang sudah diberi mantra atau jampi-jampi. Menurut masyarakat, air mantra tersebut memiliki khasiat menahan sakit meski pukulannya keras. Namun rasa sakitnya baru akan terasa sesampainya di rumah pemain. Setelah ritual pemberian air suci pada rotan selesai, kedua pria jantan bisa memasuki gelanggang permainan sambil diiringi teriakan penonton.

Permainan ini mengharuskan pria-pria tersebut membuka baju bagian atas mereka, selain itu bagian kepala ditutup menggunakan sehelai kain dan tangan kiri dibungkus agar bisa menangkis serangan lawan. Kedua pemain juga harus mengenakan kain sebatas lutut saat bertanding.

Syarat-syarat yang diberlakukan untuk duel ini adalah tidak diperbolehkan menyerang dengan cara mengecoh atau menyerunduk. Tidak diperkenankan menyerang bagian kepala maupun pinggang ke bawah. Pukulan baru akan dianggap sah bila mengenai bagian belakang lawan.

Asal Usul

Cerita yang berkembang secara turun temurun, asal mula beripat beregong bermula dari sebuah kelaka, sebutan masyarakat Belitung untuk sebuah kampung kecil yang jauh di tengah hutan dan umumnya terletak tak jauh dari ume (huma, dalam bahasa Indonesia-red.) masyarakat. Keleka tersebut dikenal dengan nama Keleka Gelanggang.

Dikisahkan, pada zaman dahulu, di Keleka’ Gelanggang tinggallah seorang gadis. Pada zamannya ia bisa dikatakan yang tercantik. Kecantikan si gadis itu telah membuat para pemuda baik dari Keleka’ Gelanggang, maupun keleka’ lain sekitarnya, untuk mempersuntingnya sebagai isteri. Namun, lantaran banyaknya lamaran datang, orang tua si gadis kesulitan memutuskan siapa pemuda yang patut diterimanya sebagai menantu. Selain itu, orang tua si gadis tahu bahwa sebagian besar pelamar itu memiliki ilmu tinggi.

Misalnya, hanya dengan menunjuk saja, burung yang beterbangan akan jatuh. Atau pohon yang ditampar bisa langsung meranggas dan sebagainya. Karena itulah, selain sulit menerima, orang tua si gadis juga kesulitan untuk menolaknya. Dalam kebingungan, akhirnya, orang tua si gadis itu pun menemukan jawaban. Ia tidak akan menolak atau menerima satu pun dari lamaran tersebut. Ia baru akan menerima lamaran tersebut dengan satu syarat. Yaitu: yang berhak mendapatkan anaknya adalah yang memenangkan undian dimana undiannya ditetapkan sendiri oleh si peminang, tanpa campur tangannya. Diberi syarat demikian, akhirnya, para peminang setuju. Mereka sepakat untuk melakukan permainan pukul-pukulan dengan rotan, mengadu ilmu masing-masing. Siapa yang kena di bagian punggungnya dinyatakan kalah. Tapi, jika keduanya sama-sama terkena pukulan, yang keluar sebagai pemenang adalah yang menerima pukulan paling sedikit. Mereka juga sepakat menentukan hari permainan.

Hari yang disepakati itupun tiba. Hari itu para peminang berkumpul di satu gelanggang yang telah disediakan, siap memainkan adu pukul-pukulan dengan rotan. Sementara itu, baik penduduk Keleka’ Gelanggang maupun dari keleka’ sekitarnya, berduyun-duyun datang ke gelanggang untuk menyaksikan adu sakti tersebut.

Sebagai musik pengiring dipukul gong, kelinang, tawak-tawak, gendang dan ditiuplah serunai. Seiring bunyi-bunyian tersebut, jago-jago tadi pun mulai ngigal (menari berputar-putar, red.) sambil berseru: “Ini die no’ ri Tembab, cube pute (nah, ini dia dari keleka ketembab, coba lawan). Seruan itu, sambil ngigal, disambut jago lain, dengan berseru: “Ini no’ ri Balai Ulu, nda’ nulak pasang.” Sementara yang lain berseru pula, “Ni buntake no’ ri Nandong, dirit bangkai-e.” (Ini dari Keleka’ Nandong, diseret bangkainya, tidak akan mundur). Dan lain-lain seruan yang menandakan keberanian menghadapi siapa saja.

Diselingi suara alat musik, terjadi perang seruan antara para jago tadi. Sementara itu jago-jago lain memperhatikan untuk mencari pasangan beripatnya dan bila telah ada yang menyetujui, masuklah ia ke gelanggang tempat ngigal tadi, sambil menepuk bahu pengigal tadi sambil berkata: “Kiape re?!” (gimana saudara?). Seruan itu akan dijawab pengigal –musuh- dengan jawaban: “Tulai!” (Jadi!). Menurut cerita dalam pertandingan tersebut, karena sebagian peserta adalah orang-orang berilmu tinggi dan sama-sama tidak terkalahkan, tidak seorang pun yang kalah maupun menang.