Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek

You are currently viewing Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek

Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek

Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek

Oleh:
Ria Andayani Somantri
(BPNB Jabar)

Pada zaman dahulu, ada seseorang sedang ngalasan hoe ‘mengambil rotan’ di tengah hutan. Dia bekerja sampai sore sehingga tidak bisa pulang dan harus menginap di tempat tersebut. Dia pun segera membuat gubuk yang sederhana agar dapat tidur dengan nyaman. Ketika malam tiba, dia sangat membutuhkan air dan berupaya keras untuk mendapatkannya. Semalaman dia mencari air ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan setetes air pun. Keesokan harinya, dia tersentak kaget melihat ada air di samping gubuknya pada pagi hari. Padahal, tadi malam dia sama sekali torek ‘tidak mendengar’ suara gemericik air di sana. Karena peristiwa tidak mendengar apapun atau torek itulah, daerah tersebut dinamakan Citorek. Sampai saat ini, Citorek digunakan sebagai nama sungai, desa, dan termasuk kasepuhan, yakni Kasepuhan Citorek.

Gerbang selamat datang di Kasepuhan Citorek
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar

Kasepuhan Citorek secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Untuk menuju tempat tersebut, perjalanannya dapat dilakukan melalui rute Jakarta-Serang-Pandeglang-Rangkasbitung-Gajrug-Citorek. Kondisi jalan di jalur tersebut cukup bagus dan nyaman, kecuali dari Gajrug ke Citorek yang berjarak sekitar 35 kilometer atau setara dengan 3 jam perjalanan. Banyak tanjakan dan turunan yang cukup tajam, namun menawarkan pemandangan alam pegunungan yang begitu menawan.

Lokasi Kasepuhan Citorek berada di kawasan perbukitan yang luasnya mencapai 7.416 hektar. Daerah itu menjadi wilayah adat Kasepuhan Citorek, yang di dalamnya mencakup empat desa, yakni Desa Citorek Timur, Citorek Barat, Citorek Tengah, dan Citorek Selatan. Pusat Kasepuhan Citorek secara keseluruhan berada di Desa Citorek Timur, tepatnya di Kampung Guradog.


Hamparan lahan pertanian di Kasepuhan Citorek
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar

Memasuki wilayah adat Citorek dari arah Gajrug, akan dijumpai lahan pertanian berupa sawah. Keberadaan sawah di tempat tersebut cukup dominan mewarnai lingkungan alamnya. Berdasarkan letaknya, ada sawah lembur, yakni sawah yang letaknya berdekatan dengan kawasan permukiman dan umumnya berada di lahan yang relatif datar. Selain itu, ada sawah terelek, yakni sawah terasering yang terletak di lahan miring dan umumnya berada jauh dari permukiman. Berdasarkan kepemilikannya, di sana terdapat sawah milik individu dan sawah adat atau sawah tangtu. Selain sawah, masih ada lahan pertanian lainnya, yakni kebun dan huma ‘lahan kering untuk menanam padi dan palawija’.

Wilayah adat Kasepuhan Citorek juga dilintasi sejumlah aliran sungai yang cukup besar. Keberadaan sungai tak hanya menambah nuansa indah dan sejuk pada linkungan alam Citorek, melainkan juga memberi banyak manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat Citorek. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan secara arif sehingga tatanan ekologinya relatif terjaga dengan baik.

Ada dua sungai besar mengalir di wilayah adat Citorek, yakni Sungai Citorek dan Sungai Cimadur. Di kedua sungai tersebut, sedikitnya tampak ada tiga ruang pemanfaatan. Ruang pertama, yakni pada bagian paling hulu berfungsi sebagai sumber air bersih, yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti mandi dan untuk air minum. Ruang kedua berada di bagian hilir dari ruang pertama, yang digunakan untuk mencuci berbagai perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian dan peralatan dapur. Ruang ketiga berada di bagian hilir dari ruang kedua, berfungsi sebagai ruang kotor yang dipakai untuk membuang hajat atau berfungsi sebagai WC.

Ruang kotor itu juga dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan karangkeng, yakni kotak kayu tempat memelihara ikan mas dan mujair. Karangkeng yang ditanam di sungai berukuran 1,5 x 2 m atau 2 x 3 meter. Bagian atasnya menyembul ke atas permukaan air dengan ketinggian sekitar 20 cm sampai dengan 30 cm. Cukup banyak jumlah karangkeng yang diletakkan merapat ke tepi kiri dan kanan sungai. Penempatan karangkeng seperti itu juga memudahkan warga Citorek yang akan membuang hajat, yakni dengan cara jongkok di tepi karangkeng. Limbah manusia secara tidak langsung merupakan pakan ikan, selain dedak dan sisa makanan warga masyarakat. Karangkeng akan dikuras isinya atau dibedahkeun pada masa pasca panen untuk dipindahkan ke sawah.

Tak hanya sungai yang dimanfaatkan sebagai sumber air di Kasepuhan Citorek, mata air juga termasuk di dalamnya. Terdapat ratusan mata air di kawasan Citorek. Di sekitarnya tumbuh berbagai jenis pohon besar, tinggi, dan rindang. Aturan adat melarang siapapun menebang pohon yang ada di sekeliling mata air. Larangan tersebut mampu menjaga dan melindungi keberadaan mata air agar tidak kering.

Pasokan air yang melimpah seperti itu juga sangat memungkinkan terjadi, karena wilyah Citorek yang luasnya mencapai 7.416 hektar itu masih tampak hijau dengan pepohonan. Hutan merupakan bagian penting dari keseluruhan wilayah adat kasepuhan. Di sekitar hutan itulah masyarakat adat Kasepuhan Citorek menetap.

Asal-usul masyarakat adat Kasepuhan Citorek, konon berawal dari sepenggal kisah seorang Raja Sunda di Lebak Singka. Dikisahkan dia membawa dua orang keturunan pangawinan, yang terdiri atas seorang laki-laki dan dan seorang perempuan. Keturunan laki-laki dibawa ke daerah Cikaret (kini daerah Cisungsang, Cicarucub, dan lain-lain), yang kemudian disebut dulur lalaki ‘saudara laki-laki’. Keturunan pangawinan yang laki-laki diberi bekal kemenyan. Adapun yang perempuan dibawa ke Citorek dan diberi bekal panglay. Untuk selanjutnya, dia disebut dulur awewe ‘saudara perempuan’. Sampai saat ini, kemenyan dan panglay merupakan benda yang sangat penting dan tidak terpisahkan satu dan lainnya dalam kehidupan mereka, khususnya dalam aktivitas religi. Selanjutnya, kedua orang tadi diberi pepatah/ wasiat yang berbunyi:

  • Lamun sia sieun, aya nu nganteur ‘jika kamu takut, ada yang mengantar’
  • Lamun hayang, aya nu mere ‘jika ingin, ada yang memberi’
  • Lamun poek, aya nu ngadamaran ‘jika gelap, ada yang menerangi’
  • Lamun hujan, aya nu niungan ’jika hujan, ada yang memayungi’
  • Lamun tiris, aya nu nyimbutan ‘jika dingin, ada yang menyelimuti’
  • Asal sing iman jeung kekal ka baris kolot ‘yang penting taat dan patuh kepada kasepuhan.

Khusus untuk dulur awewe, diberi nasihat tambahan, yaitu bilamana teu aya kaamanan, teu kabendung lumpat ka dulur lalaki, lamun ku dulur lalaki teu kabendung/ teu kabela bakal aya nu ngabela ‘kalau suasana tidak aman tak teratasi, mintalah bantuan kepada saudara laki-laki; bila saudara laki-laki tidak mampu membantu, pasti akan ada yang menolong’. Konon, nasihat itu terbukti pada saat terjadi Perang Kawisan atau memperebutkan suatu daerah di Citorek. Karena saudara laki-laki tak bisa menolong, akhirnya datang bantuan dari Prabu Siliwangi dengan 40 orang tentara. Perang tersebut berlangsung sambil menaiki nyiru ‘tampah’ di tengah lautan. Sampai sekarang warga masyarakat percaya, Kasepuhan Citorek ada karena bantuan Prabu Siliwangi.

Saat ini, warga masyarakat adat Kasepuhan Citorek jumlahnya sekitar 17.000 jiwa. Itu belum termasuk incu putu ‘keturunan’ masyarakat Citorek yang tersebar di sejumlah desa lain, seperti Desa Guradog, Cibarani, Gunung Batu, Sampay, Guradog, Lebak Larang, dan Cirompang. Mereka semua terikat oleh tata kehidupan sosial tradisional yang terpranatakan dalam lembaga adat Kasepuhan Citorek. Tatanan kehidupan sosial seperti itu tetap dipertahankan sampai sekarang, tanpa harus mengesampingkan sistem pemerintahan formal yang berlaku secara nasional.

Struktur lembaga adat Kasepuhan Citorek ditempati jajaran baris kolot, yakni semua yang memegang teguh aturan kasepuhan. Perangkat baris kolot terdiri atas oyok, jaro adat, jalan, bengkong, penghulu, saksi, paraji, dan kokolot lembur. Semua jabatan adat diperoleh berdasarkan keturunan, dan jatuh kepada anak laki-laki, kecuali untuk jabatan paraji. Masa jabatan berlaku sampai dia meninggal, baru kemudian diganti keturunan berikutnya. Seorang oyok merupakan keturunan oyok sebelumnya; seorang penghulu merupakan keturunan penghulu sebelumnya; begitu pula dengan jabatan adat lainnya.

Pucuk pimpinan dalam struktur lembaga adat Kasepuhan Citorek adalah oyok. Sebagai ketua adat, ada kewajiban yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, dan ada hak-hak istimewa yang akan diterimanya. Dia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara kelangsungan adat istiadat masyarakat Kasepuhan Citorek, yang diwariskan leluhurnya. Adapun hak yang akan diterimanya sebagai oyok, di antaranya menjadi pemimpin dalam berbagai kegiatan dan urusan adat, berkomunikasi dengan leluhur, menggarap sawah tangtu atau sawah adat, serta tinggal di imah gede, sebutan untuk rumah ketua adat atau oyok, yang terletak di Kampung Guradog, Desa Citorek Timur, yang sekaligus menjadi pusat Kasepuhan Citorek.

Dalam melaksanakan tugasnya, dia dibantu perangkat adat yang terdiri atas jaro adat, yakni pembantu atau wakil oyok yang mengurusi masalah adat istiadat setempat; jalan, yakni pembantu oyok yang bertindak sebagai humas atau juru basa; saksi, yakni para sesepuh dan warga masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang adat istiadat kasepuhan. Jumlah saksi utama ada 7 orang, dan setiap saksi utama diperkuat kedudukannya oleh tiga orang pendukungnya; penghulu, yakni pembantu oyok yang mengurusi masalah perkawinan juga kematian; bengkong, yakni pembantu oyok yang mengurusi masalah khitanan; paraji, yakni pembantu oyok yang mengurusi masalah kehamilan dan kelahiran bayi; dan kokolot lembur, yakni perwakilan oyok di luar tempat tinggal oyok.

Masyarakat adat Kasepuhan Citorek menempati kawasan permukiman di sebuah lengkob ‘cekungan’ yang relatif datar dan dikelilingi gunung-gunung. Permukiman itu diapit dua sungai besar, yakni Sungai Citorek dan Sungai Cimadur. Bentuk permukiman mereka berupa lembur ‘perkampungan’. Tercatat ada puluhan kampung di wilayah Kasepuhan Citorek.

Suasana di pemukiman Kasepuhan Citorek
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar

Sebelum tahun 2001, masyarakat adat Citorek tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu, beratap daun kiray ‘sirap’ yang membujur dari timur ke barat, dan pintu rumah menghadap ke utara dan selatan. Itulah rumah tradisional mereka, dengan segala aturan adat yang mengikatnya sehingga tampak seragam dan teratur. Salah satu dari rumah-rumah tradisional itu adalah imah gede, sebutan untuk rumah tinggal ketua adat Kasepuhan Citorek. Luas rumahnya sekitar 15 x 10 meter, dan terletak di Kampung Guradog, Desa Citorek Timur. Selain sebagai tempat tinggal ketua adat, imah gede juga merupakan tempat pelaksanakan berbagai kegiiatan adat.

Sekarang, tak sedikit rumah tradisional di Kasepuhan Citorek yang sudah berubah menjadi rumah semi permanen dan permanen. Perubahan terjadi setelah peristiwa kebakaran hebat menghanguskan setengah dari permukiman mereka, yakni pada tahun 2001. Untuk alasan keamanan, warga diizinkan membangun rumah permanen, tanpa terikat ketentuan posisi atap dan pintu rumah, seperti pada rumah tradisional. Sebagian rumah mereka, baik rumah panggung maupun rumah permanen, tidak dilengkapi dengan kamar mandi. Mereka masih memanfaatkan Sungai Citorek dan Cimadur untuk memenuhi kebutuhan air minum, mandi, mencuci, dan membuang hajat.

Perubahan pun semakin melebar, ketika listrik masuk ke wilayah itu pada tahun 2004. Berbagai perlengkapan rumah tangga bertenaga listrik mengisi rumah mereka, baik rumah panggung maupun rumah permanen. Lemari es, televisi, pemanas nasi, bukan hal yang tabu bagi mereka, termasuk bagi oyok. Semuanya berbaur dengan perlengkapan rumah tangga yang bernuansa tradisional, seperti hawu ‘tungku’.

Selain rumah tradisional, di Citorek juga terdapat sejumlah bangunan tradisional lainnya. Ada leuit ‘lumbung padi’ tradisional yang dibuat dari kayu dan anyaman bambu, serta beratap sirap atau seng. Luas leuit sekitar 2 x 2,5 meter; saung lisung ‘tempat menumbuk padi’; kandang ayam; karangkeng ‘‘kotak kayu tempat memelihara ikan di sungai’; dan lantayan ‘tempat menjemur padi’. Jika musim panen padi tiba, deretan lantayan tampak indah memenuhi lahan-lahan kosong di sekitar jalan, rumah, atau sawah mereka.

Panen padi merupakan bagian dari tahapan aktivitas pertanian, yang dijalani sebagai matapencaharian hidup mereka. Sebagian besar warga masyarakat Citorek menggantungkan hidupnya menjadi petani. Mereka menanam padi di sawah dan di huma ‘lahan kering’ sekali dalam setahun, dengan masa tanam selama 6 bulan. Jenis padi yang ditanam adalah para ageung, seperti kewal, leneng, pare bandung, kui, dan layung. Setelah panen, padi disimpan di lumbung padi yang disebut leuit, sebagai kekayaan keluarga yang sangat berharga. Setiap keluarga sedikitnya memiliki satu leuit, dan paling banyak empat leuit.

Masyarakat adat Citorek masih mempertahankan tata cara bertani tradisional yang diwariskan leluhurnya. Mereka menerima amanat dari nenek moyang agar senantiasa memelihara dan menjaga padi dengan baik sesuai adat yang berlaku, karena padi merupakan perwujudan Dewi Sri. Oleh karena itu, kelangsungan seluruh aktivitas pertanian sarat dengan ritual adat.

Ritual adat yang menyertai aktivitas pertanian merupakan bagian integral dari kehidupan religi masyarakat adat Kasepuhan Citorek. Terdapat dua aspek penting yang mewarnai religi mereka, yakni agama dan kepercayaan warisan leluhurnya. Agama yang dianut mereka adalah Islam. Di samping itu, mereka sangat menghormati leluhur dan ruh-ruh suci yang memiliki arti penting dalam kehidupan mereka, misalnya Dewi Sri. Penghormatan terhadap entitas supernatural seperti itu, terekspresikan dalam adat istiadat mereka, seperti tampak pada kebiasaan memelihara makam para leluhur. Salah satu makam yang dikeramatkan adalah makam keramat Eyang Mardali.

Menurut aturan adat, setiap tahapan kegiatan bertani harus dimulai oleh oyok, baru kemudian diikuti warganya. Tak seorang pun warga masyarakat yang berani mendahuluinya. Sebaliknya, mereka akan patuh dan mengikuti tradisi bertani seperti itu. Termasuk dalam hal ini, keturunan masyarakat Citorek yang menyebar di desa lain tetapi masih menginduk pada tradisi bertani di Kasepuhan Citorek.

Keunikan tampak pada setiap pelaksanaan tahapan aktivitas pertanian di Kasepuhan Citorek, yakni menggelar satu jenis kesenian khas setempat. Goong, itulah nama kesenian khas dari Kasepuhan Citorek, yang lebih berfungsi sebagai penolak bala. Kesenian tersebut digelar untuk mengusir berbagai kekuatan gaib yang akan mengganggu kelancaran suatu kegiatan, khususnya kegiatan bertani.

Kesenian goong dimainkan enam orang pria. Mereka secara bergantian memainkan empat instrumen, yang terdiri atas gong, caning, koromong, dan kendang. Sehari-hari, peralatan kesenian tersebut disimpan di imah gede. Di tempat itu pula keseniaan goong digelar. Misalnya, menjelang kegiatan mipit ‘menuai padi yang pertama’, goong dimainkan semalam suntuk, sejak Isya hingga menjelang azdan subuh tiba. Irama tetabuhan tersebut terdengar ke berbagai wilayah Kasepuhan Citorek. Bagi warga masyarakat, hal itu sekaligus menjadi pertanda dimulainya suatu kegiatan dari oyok, ketua adat mereka.

Hampir setiap tahapan kegiatan bertani senantiasa diawali dengan upacara, yang dilakukan oyok secara sederhana, kemudian diikuti warga masyarakat secara pribadi. Mereka juga harus mematuhi pantangan yang berlaku selama mengolah lahan pertanian, di antaranya dilarang bekerja pada Minggu dan Jumat. Setelah padi dipanen, mereka tidak bisa langsung mengkonsumsinya sebelum dilaksanakan upacara nganyaran, yakni syukuran untuk mengkonsumsi padi baru. Sebagai penutup rangkaian aktivitas pertanian, dilaksanakan upacara seren taun secara meriah. Upacara tersebut dilaksanakan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada leluhur dan Tuhan atas hasil pertanian yang diperoleh selama setahun.

Upacara tradisional yang dilaksanakan masyarakat adat Kasepuhan Citorek tidak hanya terkait dengan aktivitas pertanian. Mereka juga menyelenggarakan upacara yang berhubungan dengan daur hidup manusia. Rangkaianya meliputi upacara tujuh bulanan, nurunkeun, diangir, diayun, nyunatan, ngalamar, seserahan, akad nikah, nincak kukuk, sungkeman, salametan, nganjang panganten, dan upacara memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus.

Selain beragam upacara yang telah disebutkan tadi, mereka juga melaksanakan upacara atau tradisi yang berhubungan dengan agama yang dianutnya, yakni agama Islam. Mereka menjalankan perintah agama yang diyakininya dan menjauhi larangan-Nya. Di samping itu, mereka juga mengembangkan tradisi yang dapat mempertebal keimanan mereka. Ada tradisi rewahan, rajaban, qunut (tiga kali) dan lilikuran (salikur, tilu likur, lima likur, tujuh likur, dan salapan likur) pada bulan Ramadhan, serta muludan.

Upacara tradisional merupakan saat yang penting dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Citorek. Oleh karena itu, suasana tersebut dihadapinya secara istimewa. Salah satunya istimewa dalam hal pakaian yang dikenakan ketika mengikuti upacara tersebut. Yang paling tampak khas adalah pakaian laki-laki dewasa. Umumnya, mereka mengenakan pakaian yang terdiri atas celana panjang atau kain sarung, baju kampret atau baju koko, dan ikat kepala dari kain batik. Sementara itu, perempuan dewasa yang telah menikah, banyak yang mengenakan kain panjang dan kebaya. Tak sedikit warga masyarakat Citorek yang berpenampilan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Adapun yang lainnya berpakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Sunda khususnya.

Sunda adalah latar belakang suku bangsa dari masyarakat adat Kasepuhan Citorek. Oleh karena itu, komunikasi antarwarga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dilakukan menggunakan bahasa Sunda. Hubungan mereka begitu dekat dan saling mengenal satu sama lainnya. Kedekatan hubungan itu di antaranya dilandasi nilai-nilai kebersamaan, tenggang rasa, saling menolong, saling memiliki, juga kepatuhan terhadap adat. Semua nilai-nilai luhur itu tampak terakumuluasi dalam satu tradisi yang masih tetap dipertahankan dan dipelihara dengan baik sampai sekarang, yakni gotong- royong. Tradisi gotong-royong begitu kental mewarnai kehidupan sosial mereka.

Prinsip gotong-royong adalah menyelesaikan pekerjaan yang besar, berat, dan banyak agar menjadi ringan dan dapat diselesaikan dengan cepat. Pekerjaan yang memenuhi kriteria seperti itulah biasanya yang akan diselesaikan dengan cara gotong-royong. Beberapa contoh pekerjaan tersebut adalah mencari kayu bakar untuk keperluan hajatan; membuat atap rumah dari kiray atau sirap; mengerjakan sawah tangtu; melakukan berbagai persiapan untuk kegiatan upacara tradisional, seperti upacara pertanian dan upacara kematian; serta membuat atau memperbaiki berbagai fasilitas umum. Selain itu, ada juga tradisi gotong- royong dengan unsur timbal balik kebaikan di dalamnya atau menganut sistem resiprositas, seperti arisan dan nyambungan dalam hajatan.

Tradisi gotong-royong dalam berbagai aspek mampu menjaga keutuhan masyarakat adat Kasepuhan Citorek. Bagi mereka, seluruh warga masyarakat Kasepuhan Citorek adalah dulur, yakni saudara dalam arti yang luas. Kata dulur bisa berarti saudara karena mereka merasa berasal dari keturunan yang sama. Dulur juga merupakan salah satu istilah dalam sistem kekekerabatan pada masyarakat adat Kasepuhan Citorek, yang berarti kerabat.

Kerabat pada masyarakat adat Kasepuhan Citorek terjadi karena ikatan darah juga proses perkawinan. Bentuk perkawian ideal di Citorek adalah monogami, yakni hanya memiliki satu istri atau suami. Selain itu, perkawinan di tempat tersebut juga bersifat exogami, yakni terbuka untuk menikah dengan pasangan yang berasal dari luar Citorek. Lingkaran kerabat seseorang ditarik melalui garis dari ibu maupun ayahnya. Dengan demikian, keluarga besar dari pihak ibu dan ayahnya merupakan kerabat dia.

Istilah kekerabatan pada masyarakat adat Kasepuhan Citorek di antaranya bapa, sebutan untuk ayah; ema, sebutan untuk ibu; mamang, sebutan untuk adik laki-laki dari pihak ayah maupun ibu; bibi, sebutan untuk adik perempuan dari pihak ayah maupun ibu; ua bikang, sebutan untuk kakak perempuan dari pihak ayah maupun ibu; ua lalaki, sebutan untuk kakak laki-laki dari pihak ayah maupun ibu; akang, sebutan untuk kakak kandung laki-laki; eteh, sebutan untuk kakak kandung perempuan; bapa kolot, sebutan untuk kakek; ema kolot, sebutan untuk nenek; kai bikang, sebutan untuk ibu dari kakek atau nenek; kai lalaki, sebutan untuk ayah dari kakek atau nenek; emeng kasep, panggilan sayang kepada anak laki-laki; enok atau ene, panggilan sayang untuk anak perempuan; dan sabah, istilah kerabat yang menunjuk pada saudara sekandung, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan.