Jaip, Seniman Tanjidor Tulen dari Tangerang

You are currently viewing Jaip, Seniman Tanjidor Tulen dari Tangerang

Jaip, Seniman Tanjidor Tulen dari Tangerang

Jaip, Seniman Tanjidor Tulen dari Tangerang

Jalil Jaip atau Jaip Jabar
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar, 2015

Jaip atau yang dikenal dengan nama Jalil Jaip atau Jaip Jabar memang merupakan pemusik tanji yang memperoleh keahliannya secara turun temurun. Adalah seorang yang dikenal dengan nama Jabar, merupakan Ayah dari Jaip. Jabar merupakan seorang pemain tanji yang cukup terkenal pada zamannya. Ia digabungkan dengan sederet pemain tanji terkenal pada waktu itu. Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Taman Mini Indonesia Indah (TMII) (Miranti, 2003 : 83) nama Jabar termasuk dalam 12 kelompok seni tanjidor yang cukup terkenal pada tahun 1950-an.

Nama Jabar yang memimpin kelompok Tanjidor Al Jabar sekelas dengan kelompok tanjidor yang sudah cukup terkenal di antaranya adalah kelompok tanjidor Sinar Budaya pimpinan Mali. Berbekal keahlian yang dimiliki ayahnya, sedikit demi sedikit Jaip mulai mengenal, memahami dan mahir dalam pengetahuan tentang seluk beluk tanjidor.

Jalil Jaip atau Jaip Jabar
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar, 2015

Sait, Jaip Putra Jabar (65), pimpinan tanjidor Al Jabar dari Tangerang, juga berusaha keras melahirkan generasi baru pemain tanjidor sejak tujuh tahun lalu. Ada 20-an orang anak muda yang dia latih main musik tanjidor dengan cara yang sama seperti ketika Jaip dilatih tanjidor oleh engkongnya tahun 1960-an. ”Saya disuruh dengerin engkong mainin lagu. Terus saya inget-inget bunyinya dan saya tiru,” ujar Jaip.

Pada semasa kecil, ia hanya mengenal kata tanji, belum jadi tanjidor, saat ia mendengar suara tambur dipukul. Suara yang khas untuk musik tanji pada waktu itu. Baru pada saat tenar semasa awal kemerdekaan, masyarakat mulai mengenal musik ini dengan nama musik tanjidor.

Pada waktu itu, ia selalu mengacu dan mengatakan kata “tanji” saat mendengar alat musik tersebut ditabuh. Sementara itu, kata “dor” diucapkan setelah kata tanji. Latar belakang penambahan kata “dor” menurut Jaip setelah adanya penggabungan musik tanji dengan gaya dan waditra dari sukubangsa Sunda. Alhasil, kata “dor” kemudian mengarah pada gaya”tandak” saat kendang dimainkan dengan irama tertentu yang khas sehingga pemain, penari ataupun masyarakat ikut terhentak dan mengikuti gaya layaknya seorang penari jaipong. Irama dari waditra sunda tersebut mengacu pada jenis kesenian yang biasa dikenal dengan nama bajidor, demikian Jaip mengatakan. Dengan demikian, kata tanjidor yang selama ini akrab dikenal sebagai kesenian tradisional Betawi sebenarnya adalah seni tanji yang dikolaborasikan dengan seni bajidor.


Pertunjukan seni tanjidor
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar, 2015

Personil musik tanji pada waktu masa jayanya kerap menghadapi kendala. Jumlah pesanan yang berlimpah membuat beberapa personil kerap diperbantukan untuk mengisi beberapa acara. Hal ini mengakibatkan kekurangan personil pada group pimpinan Jaip. Oleh karena itu, ia harus bekerja keras untuk mencari pengganti personil yang diperbantukan tersebut. Terkadang ia harus mencari hingga personil pengganti hingga ke Bogor.

Khusus aktivitas seni yang dilakukan, Jaip dan kawan-kawan memang tergolong sangat aktif dalam proses pelestarian seni musik tanjidor. Berbekal peralatan musik tanji mereka mencoba untuk menyelaraskannya dengan trend ataupun kesukaan musik masyarakat pada masanya. Jaip menuturkan bahwa Indentifikasi peralatan musik tanji murni terdiri dari bass selendang, bass tuba, dan tambur. Sementara untuk peralatan musik lainnya merupakan peralatan musik hasil kolaborasi tanjidor dengan kesenian lainnya.

Sekarang, dia merekam permainan musiknya dengan ponsel. Anak-anak muridnya diminta mendengarkannya lalu menirukannya. ”Kita belum kenal not. Lagu juga enggak pernah dicatet. Makanya kita maen pake perasaan aja dah,” tambah Jaip.

Semua lagu yang pernah diajarkan engkongnya, Jaip ajarkan kepada anak muridnya termasuk lagu-lagu yang menurut dia klasik, seperti ”Glatik Nguknguk”, ”Balo-balo”, ”Kramat Karem”, dan ”Kembang Kacang”. ”Itu lagu-lagu yang udah ada sebelum engkong saya lahir.” Ketika ditanya kapan engkongnya lahir, Jaip menjawab pendek, ”Mana saya tahu. Orang dulu lahir kagak dicatet tanggalnye!”

Jaip di tengah-tengah anggota sanggarnya
Sumber Foto: Dokumentasi BPNB Jabar, 2015

Kondisi kekinian dimana seni musik sudah sangat berkembang membuat pemusik tanjidor berupaya melakukan kolaborasi dengan jenis musik lainnya agar tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Jaip di antaranya, seorang pemusik tanjidor yang kerap melakukan kolaborasi dengan berbagai jenis musik lainnya, di antaranya dengan musik gambus, orkes, ataupun seni topeng.

Beberapa kolaborasi yang pernah dilakukan, dua diantaranya adalah dengan Sanggar Betawi Si Pitung pimpinan Bachtiar dan Irama Jaya dari Depok. Kolaborasi antara Jaip dan grup Tanjidor Al Jabar dengan Sanggar Betawi Si Pitung pimpinan Bachtiar mengambil sisi lenongnya sehingga terciptalah seni bernama Jinong (tanji-lenong). Lakon yang dimainkannya kala itu berjudul ”Demang Blekok”. Pemain tanji yang paling tua hanya Jaip, sisanya berusia 30-an. Sementara itu, pemain lenongnya terdiri dari para bocah dan remaja yang pandai melucu. Setiap ada adegan tokoh mati di atas panggung, pemeran lain menangis tersedu-sedu sambil berkata, ”Matinye di dalam (kamar ganti) aja ye. Biar enakan rebahnye.”

Sementara kolaborasi yang dilakukan Jaip dengan Irama Jaya dari Depok, Jawa Barat, adalah mengkolaborasikan antara tanji dengan kliningan sehingga musiknya merupakan gabungan antara tanji dan jaipongan Sunda. Lagu yang dimainkan bukan mars atau waltz tapi lagu Sunda, termasuk ”Sorban Palit” yang mengajak orang untuk nandak. Tanjidor kini pelan-pelan beralih dari tangan generasi tua, ke generasi yang lebih muda.

Demikianlah sekelumit usaha keras Jaip bersama sanggarnya dalam mempertahankan seni tanjidor agar identitas seni sebagai bagian dari kebudayaan tidak hilang tersapu zaman.

Sumber:
Penuturan Jaip (Kp. Nanggul Desa Sukasari Kec. Rajeg Kab. Tangerang)
Sumber Pustaka:
Miranti, Raras., 2003, “Srategi Adaptasi Kelompok Musik Tanjidor dalam Menghadapi Perubahan”, Tesis, Depok : Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia.
Setiawan, Irvan, dkk. 2015. “Kesenian Tanjidor di Kabupaten Tangerang”, Laporan Perekaman, Bandung: BPNB Bandung.

(Irvan Setiawan)