Dodod, Seni Pertunjukan berbau Sakral yang Nyaris Punah

You are currently viewing Dodod, Seni Pertunjukan berbau Sakral yang Nyaris Punah

Dodod, Seni Pertunjukan berbau Sakral yang Nyaris Punah

Dodod, Seni Pertunjukan berbau Sakral yang Nyaris Punah
Oleh :
Irvan Setiawan
(BPNB Jabar)

SEJARAH
Kesenian Dodod merupakan salah satu seni tradisional yang hingga kini masih ada di wilayah Kabupaten Pandeglang. Menurut Sahadi (2019: 321), kata “Dodod ” berasal dari kata “dogdog”. Hal ini didasarkan bahwa saat seni Dodod pertamakali dimainkan hanya dengan menggunakan satu waditra saja, yaitu Dogdog. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Dodod ” menurut Surani dalam Sumaludin (2018: 8) berasal dari kata dadasar ‘dasar/landasan’, yaitu wujud seni yang diambil dari dasar takdir manusia meliputi lahir, hidup, dan mati kemudian diimplementasikan dalam proses pertanian tatanen, ngalaksa, dan rasulan.

Seni Dodod Kabupaten Pandeglang
Dok. GigamesNet Solution tanggal 12 Mei 2018

Kasmahidayat dalam Sumaludin mengatakan bahwa kesenian Dodod adalah sebuah kesenian yang memadukan antara seni musik dan seni tari dan sudah dikenal di lingkungan masyarakat Kabupaten Pandeglang antara abad ke-XIV hingga abad ke-XVI (Sumaludin, 2018: 9; Kasmahidayat, 2007: 27). Sumber penciptaan Seni Dodod berasal dari upaya tolak bala terhadap penyakit yang menyerang manusia (petani) maupun tanaman padi.

PELAKSANAAN
Pemain dan Waditra
Keterkaitan yang erat antara Seni Dodod dengan kehidupan pertanian membuat penyelenggara tiga upacara pertanian (Tatanen, Ngalaksa, dan Rasulan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, jumlah pelaku Seni Dodod menjadi lumayan banyak, yaitu:

  1. Penghulu, yaitu orang yang dituakan dan bertindak sebagai pemimpin upacara pertanian.
  2. Sembilan orang pria dan wanita yang berperan sebagai peserta arak-arakan. Jumlah sembilan adalah menggambarkan jumlah wali sanga.
  3. Sebelas laki-laki sebagai nayaga penabuh waditra keramat yang terdiri dari tiga buah dogdog (bedug indung, bedug kurulung dan bedug ketuk), dan sembilan buah angklung (Angklung Indung, Angklung Kurulung, Angklung Ketuk, Angklung Nying-Nying, Angklug Enclok, dan Angklung Gong).
  4. Sekelompok ibu-ibu yang bertugas sebagai penabuh lisung. Suara tabuhan lisung menggambarkan penyambutan kedatangan Dewi Sri untuk menjaga lumbung padi (Kasmahidayat, 32-35).

Busana
Kostum yang dipakai para penari dan nayaga pada awalnya cenderung sederhana dan tidak rumit (Kasmahidayat, 2007: 25). Sementara untuk saat ini, kostum lebih difungsikan sebagai salah satu daya tarik seni dan mendapat perhatian penonton/masyarakat. Pelaku seni Dodod laki-laki umumnya mengenakan celana pangsi hitam, baju kampret atau baju bebas berwarna hitam, serta memakai lomar (ikat kepala) bermotif batik, dan terkadang mengenakan sehelai selendang. Sementara untuk pelaku seni perempuan menggunakan kain batik motif lereng sebatas lutut, serta baju model kebaya berwarna bebas (Sumaludin, 2018: 32-33).
Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan Kesenian Dodod diawali dengan membakar kemenyan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa kepada roh leluhur yang dilakukan oleh penghulu. Doa dipanjatkan agar leluhur memberi perlindungan dan keberkahan kepada seluruh warga desa. Setelah doa selesai kemudian dilanjutkan dengan membaca jangjawokan. Isi dari jangjawokan tersebut berupa pemaparan cerita Lutung Kasarung yang dikeramatkan oleh warga desa. Cuplikan jangjawokan adalah sebagai berikut:

Bul Kukus Ratu Saranan
Ngaraning menyan kukuse ujud kang Bako
Kawula nganturkeun kukus ka danghyang di dieu
Kakaruhun di dieu, ka nu sakti kang Sinuhun
Ka mungkeuning idzin Allah Ta’ala
Kaula menta salamet

Artinya:

Asap mengepul saya Ratu Saranan
Menambah kemenyan berbukti pasangan tembakau
Saya persembahkan teruntuk Danghyang di sini
Leluhur di sini, pada yang sakti, ucapan terima kasih
Saya meminta keselamatan (Sumaludin, 2018: 21-22)

Selesainya jangjawokan kemudian dilanjutkan dengan alunan bunyi angklung dan bedug secara serempak mengiringi penari dan seluruh warga desa menuju area persawahan untuk melakukan ritual tatanen dan ngalaksa, sedangkan ritual rasulan dilakukan di leuit. Selama iring-iringan berlangsung, penari dan warga melakukan gerak joged nguriling ‘berputar’, sedangkan saat berada di persimpangan jalan mereka melakukan gerak macul, ngarambet, nandur, dan metik (Kasmahidayat, 2010:110). Ritual dilanjutkan dengan melakukan arak-arakan sambil tetap melakukan gerakan layaknya seorang petani yang tengah melakukan aktivitas pertanian. Gerakan tersebut dilakukan sambil menyanyikan lagu yang kerap disebut dengan istilah lagu jalan. Adapun cuplikan dari lagu jalan adalah sebagai berikut:

Aeh! Urang ieu lagu jalan,
Urang ieu geus hasil tina pare keur buekah,
Geus kitu urang geura nguriling,
Nguriling pare nu keur beukah,
Geus kitu urang pindah deui kana sawah anu itu,
Lantaran sakabeh sawah bakal dikurilingan ku lagu jalan ieu.

Artinya:

Hey, kita ini lagu jalan,
Kita jalan sesudah padi sedang berkembang,
Mari kita berkeliling,
Mengelilingi padi yang sedang berbuah muda,
Sesudah itu kita pindah lagi pada sawah yang di sana,
Oleh karena seluruh sawah pasti dikelilingi oleh lagu jalan ini

Aeh! Aeh! Hayu urang babarengan, ngetukan bari ngagoongan,
Igelan bari syukuran ku Gusti nu Mumbreng Alam,
Hayu urang geura dareketkeun ngigel,
Ngigelna make lagu jalan,
Suka bungah gogonjakan,
Ngucap amin ka manten-Na,
Aeh! Batur-batur hayu urang pindah deui kana sawah nu keur beukah,
Urang mungkas lagu jalan ieu ku angklung,
Mugi Gusti ngatayungan ku umat-Na nu keur usaha

Hey, Hey mari kita bersama menghitung sambil digoongan
Menari sambil bersyukur kepada Tuhan yang menguasai alam,
Mari kita menari berdekatan,
Menari dengan lagu jalan,
Suka ria bergembira mengucap amin pada pengantin,
Hey, teman-teman mari kita pindah lagi menuju sawah yang sedang berbuah muda,
Kita tutup lagu jalan dengan iringan angklung,
Semoga Tuhan memberkati umat-Nya yang sedang berusaha (Sumaludin, 2018: 26-27)

Setelah melakukan ritual tatanen dan ngalaksa yang dilakukan di area persawahan, arak-arakan kemudian berangkat menuju leuit. Sesampainya di leuit, penghulu kembali membacakan doa dan jangjawokan kemudian dilanjutkan dengan tarian yang dilakukan secara melingkar mengelilingi leuit yang diiringi alunan musik angklung dan bedug serta pantun Lutung Kasarung dilantunkan oleh juru pantun. Setelah selesai, seluruh bunyi-bunyian berhenti kemudian dilanjutkan dengan pukulan alu ke dalam lisung yang dilakukan oleh ibu-ibu lanjut usia (70-80 tahun) untuk menghantarkan penghulu yang akan menyimpan padi ke dalam leuit. Selesai sesi memasukan padi ke dalam leuit, pukulan alu pun berhenti kemudian dilanjutkan dengan musik angklung dan bedug yang mengiringi arak-arakan kembali ke lapangan di tengah desa. Acara kembali dilanjutkan dengan ngalage ‘menari bersama’ dengan iringan lagu reog. Gerakan ngalage oleh warga desa dilakukan secara spontan. Berbeda halnya dengan penghulu yang secara khusus melakukan gerakan tikukur ngadu dan lele ngoser. Selesai melakukan ngalage, penghulu beserta beberapa lelaki kemudian melakukan gerakan-gerakan silat. Atraksi silat tersebut merupakan akhir dari seluruh rangkaian seni Dodod yang merupakan bagian dari ritual masyarakat petani di Kecamatan Saketi dan Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang.

FUNGSI, NILAI, DAN MAKNA
Sifat magis pada masa awal penciptaan Seni Dodod amat kental. Pengkultusan Dewi Sri dan efek magis yang dihasilkan dalam seni Dodod menurut Kasmahidayat dapat dilihat dari keharusan Seni Dodod untuk dipertunjukan dalam upacara Tatanen (upacara saat mengawali tanam padi), Ngalaksa (Upacara saat padi dalam masa pertumbuhan), dan Rasulan (Upacara saat hasil panen padi disimpan dalam leuit ‘lumbung padi’). Kewajiban gelar seni Dodod dalam tiga upacara terkait tanaman padi tersebut mengarahkan gerakan simbolik dalam seni Dodod yang dikondisikan sesuai dengan tujuan ketiga upacara tersebut. Beberapa nama gerak seni Dodod yaitu: gerak macul, gerak nandur, gerak ngarambet, dan gerak metik (Kasmahidayat, 2007: 28).
Saat ini, kesenian dodod yang berfungsi sebagai sarana ritual sudah sudah sangat jarang ditampilkan saat panen raya. Kendala yang dihadapi adalah biaya pelaksanaan yang cukup besar (Sumaludin, 2018: 41). Menurut Kasmahidayat, kesenian Dodod sebagai sarana upacara ritual terakhir kalinya dilaksanakan pada tahun 1987 (2007: 40). Bentuk kesenian Dodod kemudian mulai bergeser. Fungsi Sesi jalan dan sesi arak-arakan dalam Seni Dodod saat ini kerap digunakan untuk memeriahkan berbagai acara hajatan seperti khitanan, pernikahan, hari besar keagamaan, dan hari besar nasional (lihat Asih Windya Sary, 2018). Meskipun ada pergeseran fungsi, Seni Dodod yang berakar dari tradisi tetap tidak ditiadakan dalam kehidupan pertanian seperti yang dilakukan di wilayah Kecamatan Saketi dan Pulosari Kabupaten Pandeglang. Dengan demikian, ada dua versi dalam Seni Dodod , yaitu fungsi tradisi dan fungsi hiburan.

Sumber Tulisan :

  • Kasmahidayat, Yuliawan; dan Agus Supriatna 2007, ”Seni Pertunjukan Ritual Cerminan Hakikat Hidup Masyarakat Banten Selatan”, Laporan Hasil Penelitian, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
  • Kasmahidayat, Yuliawan; I Wayan Dibia, A. Chaedar Alwasilah, I Made Suastika, tt, “Religious Transformation Of Seni Dodod Taking Place At Mekar Wangi Village South Banten”, Artikel, Denpasar: Universitas Udayana.
  • Sahadi, 2019, “Pelestarian Kebudayaan Daerah Melalui Kesenian Tradisional Dodod Di Kampung Pamatang Desa Mekarwangi Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang”, dalam Dinamika : Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara Volume 6 Nomor 4, Bulan Desember Tahun 2019
  • Sumaludin, M. Maman, 2018, “Perkembangan Kesenian Dodod Di Kabupaten Pandeglang Tahun 1976-2009””, skripsi, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.