Rateb Berjalan Pada Masyarakat Tamiang

0
1339

Ritual merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan untuk tujuan yang bersifat simbolis. Dalam banyak kebudayaan, ritual berhubungan dengan ajaran dan nilai-nilai agama yang secara simbolis ditunjukkan untuk kemudian dipedomani nilainya dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah Ritual Rateb Berjalan pada masyarakat Tamiang, yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Rateb Berjalan dipandang sebagai sebuah bentuk rasa syukur serta harapan akan takdir baik kepada Allah SWT. Rateb yang artinya zikir, dilakukan sambil berjalan dari satu lokasi ke lokasi lain, alih-alih dilaksanakan sambil duduk di dalam masjid atau langgar.

Rateb Berjalan yang merupakan ritual tolak bala masyarakat Tamiang terdahulu, dilaksanakan setiap Bulan Safar tahun Hijriah (penanggalan Islam). Bulan Safar dianggap sebagai bulan “panas” dan diasosiasikan dalam bentuk zikir dan doa kepada Allah SWT agar terhindar dari kemalangan dan musibah. Rateb berjalan dilaksanakan selama tujuh hari bertutur-turut, dimulai pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Dijalankan oleh orang dewasa dan anak-anak.

Pelaksanaan kegiatan diawali dengan mufakatnya Teungku Imum (Imam masjid) dan Datuk (kepala desa) untuk melaksanakan ritual dan kemudian disampaikan kepada masyarakat desa. Ritual ini biasanya dilaksanakan dengan melibatkan beberapa desa sehingga ada pula kordinasi antar desa yang berdekatan dalam persiapan pelaksanaannya. Pada malam Jumat, masyarakat kemudian menggelar dzikir bersama di langgar dan dilanjutkan pada dua malam berikutnya di masing-masing desa. Ritual Rateb Berjalan sendiri dilaksanakan pada malam keempat. Diawali dari desa yang paling luar, ritual ini berlangsung secara estafet dari desa ke desa dan berakhir di desa yang paling ujung dekat dengan Sungai Seruway.

Estafet Rateb Berjalan dilaksanakan pada malam hari, diawali dengan pembacaan azan dan disusunnya barisan zikir berjalan yang diikuti para pria baik dewasa maupun anak-anak.  Sementara zikir diikuti oleh laki-laki, para wanita menyiapkan makanan ringan yang dapat dinikmati selama rombongan melakukan perjalanan zikir berupa penganan yang disebut dengan bertih. Bertih adalah penganan berbahan olahan padi yang digonseng dan disajikan dengan parutan kelapa dan garam. Selanjutnya seluruh partisipan akan berzikir sambil berjalan dan membawa bendera putih atau yang berlafazkan kalimat Laaillaha ilallah menuju perbatasan desa berikutnya. Masyarakat desa berikutnya akan melakukan hal yang sama, mengumandangkan azan dan menerima bendera sebelum melanjutkan perjalanan sambil berzikir menuju desa selanjutnya.

Perjalanan zikir ini akan berakhir di lokasi yang telah disepakati bersama dan biasanya berada di pinggir Sungai Seruway yang dekat dengan muara. Proses zikir sambil berjalan ini paling tidak memakan waktu 3 hari 3 malam dan pada hari berikutnya dilaksanakan kenduri yang seluruh makanannya disiapkan dan dihidangkan penduduk desa. Kenduri dilaksanakan di desa masing-masing, kadangkala juga dilaksanakan bersamaan pada satu lokasi. Acara kenduri dilengkapi dengan doa bersama dan silahturahmi antarwarga. Beberapa nilai kearifan yang terlihat dalam ritual ini adalah nilai keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tamiang meletakkan nilai keagamaan sebagai landasan dalam berbudaya karena inti ritual ini ada pada keyakinan akan doa. Nilai silaturahmi dan gotong royong juga terlihat dari bagaimana seluruh rangkaian ritual dilaksanakan secara sukarela dan swadaya bahkan melibatkan lebih dari satu wilayah desa. Sedapatnya, Rateb Berjalan tetap menjadi sebuah tradisi yang membudaya dari generasi ke generasi sehingga pada akhirnya melahirkan generasi Tamiang yang beriman, beragama dan berbudaya.

Nurmila Khaira