Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah, Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia, Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di Surau.

Pada abad-abad yang lalu, surau disebut orang Belanda sebagai Indische Scholen (sekolah orang Melayu) atau Godstientscholen (sekolah agama). Hal ini mengisyaratkan betapa surau di masa-masa itu merupakan satu lembaga yang sangat maju dan dikenal luas, sampai orang-orang kompeni ambil bagian untuk menggambarkan aktifitas surau ini. kenyataan itu makin diperkuat dengan data-data yang diberikan Belanda yang menggambarkan betapa pesat pendidikan model surau di Minangkabau di masa lampau.

Demikian gambaran sebuah surau pada abad-abad yang lalu, dan gambaran tersebut saat ini salah satunya dapat dilihat pada Surau Gadang Syech Burhanudin. Surau Syech Burhanudin atau yang dikenal dengan nama Surau Gadang Syech Burhanuddin yang terletak di Jorong Tanjung Medan, Kenagarian Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Surau ini diapit oleh bangunan masjid baru di sisi kirinya dan bangunan beton yang sedianya untuk pengganti Surau Syech Burhanudin yang sebelumnya sudah dalam kondisi hampir roboh. Saat ini Surau Syech Burhanudin sudah tampil kembali begitu gagah berkat adanya pemugaran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar pada tahun 2014 lalu, dan fungsi-fungsi sosial keagamaan tetap dapat berlangsung di surau ini.

Dalam riwayat sejarahnya, Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syech Burhanudin Ulakan (lahir tahun 1646 di Sintuk, Kabupaten Padang Pariaman – meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu ia terkenal sebagai pahlawan pergerakan Islam dalam melawan penjajahan VOC. Ia juga dikenal sebagai ulama sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Sathariyah di daerah Minangkabau, Sumatera Barat.

Syech Burhanuddin lahir dengan nama Pono. Masa kecilnya belum banyak mengenal ajaran Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran tersebut. Menginjak usia dewasa, Syech Burhanudin mulai merantau dan meninggalkan tempat orang tuanya. Syekh Burhanudin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdur Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpengaruh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syech Ahmad al-Qusyasyi dari Madinah. Oleh Syech Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing.

Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh, Syech Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan ajaran Islam di sini. Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar 4 hektar. Di sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Sathariyah.

Di surau inilah beberapa aktivitas keagamaan dan sosial dilakukan, seperti shalat lima waktu, belajar ilmu agama, musyawarah, berdakwah, termasuk berkesenian dan mempelajari ilmu bela diri. Surau ini kemudian berkembang pesat dan menjadi sebuah Pondok Pesantren.

Karena menganut paham Shyatariah, Surau Syech Burhanuddin dikenal sebagai pusat Thareqat Satharyah. Di antara ulama yang belajar di surau ini adalah Tuanku Koto di Nagari Ampek Angkek Luhak Agam yang merupakan guru dari Tuanku Imam Bonjol.

Terdapat beberapa bangunan baru yang mengelilingi Surau Gadang Syekh Burhanudin. Bangunan baru tersebut yakni bangunan adat atau aula berbentuk persegi panjang dengan atap gonjong lima dari bahan seng terletak di halaman depan. Hal ini menggambarkan bahwa ulama berada di belakang memberi dorongan kepada adat atau masyarakat yang di depan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Bangunan lainnya di antaranya adalah surau baru dengan bangunan dua lantai, bangunan madrasah, masjid di sebelah utara, dan madarasah serta kamar mandi di sebelah barat. Adapun di sebelah selatan terdapat rumah pengurus surau dan Panti Asuhan Lanjut Usia Tanjung Medan. Pemugaran surau pernah dilakukan pada tahun 1980/1981, yakni pembongkaran rangka atap, dinding mihrab, jendela, dan pintu, serta pemasangan kembali dengan bahan yang baru untuk komponen yang sudah keropos kecuali tiang bangunan. Namun surau tersebut kembali rusak dan seluruh tiangnya miring akibat gempa yang ditimbulkan tahun 2007.