Kurun waktu antara abad ke-7 hingga abad ke-20 adalah masa perputaran antara satu kerajaan menuju kerajaan lain. Di masa itu fenomena berdiri dan runtuhnya suatu kekuasaan di tanah Sumatera adalah hal yang lazim. Pada dinamika kehidupan Sumatera tempo dulu kerajaan-kerajaan yang dimaksud berwujud kekuasaan yang memiliki pemimpin, rakyat, struktur sosial, kebiasaan, kepercayaan dan potensi alam. Wicara seputar hal tersebut, maka Kerajaan Siak adalah salah satu konfigurasi kekuatan yang pernah bangkit di Sumatera pada akhir abad ke-18. Sebagai kerajaan peninggalan hegemoni Islam, Kerajaan Siak sempat mengalami berbagai pasang surut demi mempertahankan eksistensinya.

Kerajaan Siak didirikan oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah pada tahun 1723. Kedudukan Kerajaan Siak tidak tetap karena mengalami perpindahan dari Kota Buantan ke Mempura. Kemudian beralih ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura hingga akhirnya mantap di Kota Siak Sri Indrapura. Sebagai sebuah kedaulatan dari masa lalu, Kerajaan Siak menyisakan beragam kenangan yang identik dengan Islam dan Melayu. Salah satu pusaka lampau yang dimaksud ialah Masjid Syahabuddin. Objek bendawi ini merupakan warisan sejarah yang didirikan tahun 1926 M pada masa kepemimpinan Sultan Al Said Al Kasyim Abdul Jalil Saifuddin. Sebagai raja dengan garis keturunan Islam, Sultan Kasyim tidak serta merta memberi penamaan pada masjid tersebut. Tersiar kabar bahwa nama Syahabuddin berangkat dari gabungan kata dari bahasa Persia (Syah artinya penguasa) dan Arab (al-din berarti agama) sehingga makna dari nama tempat ibadah tersebut melambangkan Sultan sebagai Pemimpin Kerajaan dan Agama.

Masjid Syahabuddin dikenal juga dengan nama Masjid Raya Siak Sri Indrapura. Bangunan bernomor inventaris 04/BCB-TB/B/07/2007 ini dimiliki Pemerintah Kabupaten Siak dan dikelola oleh Pemkab bersama-sama dengan BPCB Sumatera Barat. Kemudian itu, letak masjid ini strategis karena tidak jauh dengan Istana Siak Sri Indrapura. Sebagai pusaka peninggalan Kesultanan Islam di bumi Siak, Masjid Syahabuddin dibangun demi menunjang aktivitas keagamaan raja dan masyarakat. Solat sebagai tiang dari Agama Islam merupakan prioritas Kerajaan Siak. Warisan budaya ini dinilai unik karena arsitekturnya merupakan perpaduan antara Melayu dan Timur Tengah (Turki).

Hal itu nampak dari pintu dan jendela bagian atas masjid yang membentuk lengkung kubah. Kemudian itu, pada lengkung kubah di atas dan pintu jendela terdapat hiasan berupa tulisan dari ayat-ayat Al-Quran. Bagian atap dari atap sirap dan pada bagian puncaknya berbentuk kuncup teratai. Ukuran mihrab ini tinggi 2,4 m, lebar 104 cm, dan panjang 210 cm. Mihrab masjid terbuat dari kayu dengan ukiran krawangan motif suluran sehingga akulturasi yang terdapat pada bangunan masjid akan terlihat sangat kontras. Berdenah segiempat membuat tata letak pintu masjid diposisikan pada sisi Timur dan Selatan. Kokohnya konstruksi masjid ditopang oleh tiang bulat silinder dari beton dengan formasi membentuk lingkaran.

Menurut riwayatnya, masjid ini berusia lebih dari setengah abad dan telah beberapa kali direnovasi. Keberadaan dari Masjid Syahabuddin (Masjid Raya Sultan Riau) ini hendaknya senantiasa dipertahankan demi menambah kecintaan lokal penduduk setempat serta menambah wawasan masyarakat di luar daerah tentang sejarah dan kiprah Kerajaan Siak dalam menghiasi perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan nusantara (Merlina Agustina).