Melayu, tentu sudah pernah kita dengar sebelumnya bagaimana uniknya budaya Melayu yang memperkaya khazanah budaya di Indonesia. Budaya Melayu tidak terlepas dari salah satu pulau di Indonesia, yaitu Pulau Penyengat. Pulau Penyengat merupakan salah satu yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Nama Penyengat tentu tidak asing apabila mengingat sejarah kejayaan Melayu-Riau dahulu. Dalam cerita lokal, Penyengat berawal dari kisah seorang pelaut yang disengat lebah pada saat mengambil air di pulau ini sehingga disebutlah Pulau Penyengat. Orang Belanda sendiri menjuluki pulau ini sebagai Pulau Indera dan ulau Mars sehingga Pulau Penyengat dikenal juga sebagai Penyengat Inderasakti.

Menelisik dari sejarah, Pulau Penyengat merupakan hadiah dari Sultan Mahmud kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah pada tahun 1805. Pada masa Sultan Mahmud mulailah dibangun permukiman yang berada di pulau ini. Sebelum diberikan sebagai hadiah, Sultan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV membangun beberapa benteng diantaranya ialah Benteng Bukit Kursi untuk melindungi dari serangan Belanda. Tentunya pemberian pulau ini sebagai hadiah menarik perhatian sehingga  Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga. Pada tahun 1857, kondisi Kerajaan Melayu Riau-Lingga sudah tidak stabil karena campur tangan Belanda dalam pemerintahan sehingga Sultan Abdulrahman Muazamsyah memindahkan pusat kerajaan Melayu Riau-Lingga dari Daik ke Penyengat pada tahun 1900 (Yacob, M. Amin, 2004: 89-95).

Pemindahan pusat kekuasaan ke Penyengat tentu tidak terlepas dari posisi geografisnya di jalur perdagangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi musuh yang ingin menguasai Pulau Penyengat. Sebagaimana diketahui bahwa pendirian benteng di Pulau Penyengat merupakan salah satu startegi pertahanan yang dibuat oleh Sultan Mahmud. Benteng Bukit Kursi merupakan salah satu benteng yang dianggap sebagai sarana pertahanan utama karena menghadap ke tapak dermaga lama maupun tapak dermaga sultan. Sebagaimana diketahui bahwa dermaga merupakan bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menarik-turunkan penumpang.

Benteng Bukit Kursi berada di sebuah bukit dan merupakan benteng pertahanan yang memiliki denah segi empat, yang terbuat dari susunan pasangan batu bauksit . Benteng Bukit Kursi yang mempunyai ukuran sekitar 92,38 m x 74,73 m (6903,55 m²), mejadikan area benteng ini sangat luas, memungkinkan ditempatkannya pasukan dalam jumlah cukup besar. Benteng ini dikeliling parit sedalam ± 3 m. Didalam fungsinya sebagai mesin perang, Benteng Bukit Kursi dilengkapi dengan meriam yang berjumlah 8 buah. Meriam tersebut ditempatkan disemua bastion, masing-masing 2 buah meriam ditempatkan di bastion sisi barat daya, barat laut, dan timur laut. Sementara di bastion sisi tenggara dan bagian tengah dinding utara masing-masing 1 buah meriam. Arah hadap benteng ini adalah mengelilingi laut Tanjung Pinang, sehingga penempatan meriamnya pun mayoritas mengarah ke laut. Dari 8 buah meriam yang ditempatkan, 6 buah mengarah ke laut. Pintu utama Benteng Bukit Kursi berada di sisi selatan dengan sebuah jembatan sebagai akses masuk ke dalam benteng (Tim Pelestari BPCB Sumatera Barat, 2017).

Meskipun Benteng Bukit Kursi menggunakan material alam, tetapi apabila melihat kompleksitas sarana bangunan tersebut seperti parit, bastion dan meriam diketahui bahwa benteng ini merupakan sentral pertahanan Pulau Penyengat. Selain itu, pemilihan lokasi Benteng Bukit Kursi berada di bukit tentu memberikan keuntungan bagi pihak yang bertahan. Selain untuk mengawasi pergerakan musuh, posisi lebih tinggi juga memudahkan untuk memberikan tembakan langsung pada musuh sedangkan sebaliknya pihak musuh kesulitan untuk menyerang posisi pertahanan yang berada di atasnya (Tanjung, Wiyan Ari, 2008: 57).

Pembangunan benteng ini tentunya merupakan salah satu strategi perang yang digunakan untuk bertahan dan menyerang. Karakter lingkungan yang terdiri dari perbukitan dan muara sungai menggambarkan bagaimana pemanfaatan ruang dari bentang alam yang ada. Apabila melihat lokasi benteng yang berada di puncak bukit menunjukan bahwa benteng  tersebut didirikan untuk mengawasi pergerakan aktivitas terutama aktivitas di laut dimana area tersebut merupakan jalan masuk ke pusat kerajaan dahulu. /Ludhyana_M