You are currently viewing Masa Tanam Paksa (Meniti Jejak-jejak Peradaban)

Masa Tanam Paksa (Meniti Jejak-jejak Peradaban)

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch (1830) yang telah mempelajari tradisi di Indonesia menyampaikan ide Tanam Paksa yang pada dasarnya adalah gabungan antara Contingenteringen dengan pajak tanahnya Raffles. Pada masa ini kembali petani dipaksa melalui para penguasa setempat untuk menanam tanaman ekspor seperti tebu, nila, dan kopi. Lahan yang digunakan untuk tanaman ekspor tidak dikenakan pajak, tetapi lahan yang digunakan petani untuk tinggal dan menanam kebutuhan sendiri dikenakan pajak. Tetapi dalam kenyataannya kemungkinan besar terjadi  ketidaksesuaian dengan aturan yang telah ditentukan. Tanah yang ditanami juga dikenakan pajak, terbukti dengan tingginya hasil pajak yang masuk dibandingkan dengan luas tanah yang ditanami tanaman ekspor. Tambahan lagi pengawasan dan pengumpulan hasilnya tidak lagi oleh penguasa lokal seperti masa VOC, tetapi diawasi dan dikumpulkan oleh pegawai-pegawai Hindia Belanda langsung. Sehingga penyelewengan untuk meningkatkan hasil mudah sekali terjadi. Dengan kondisi seperti itu beban petani menjadi lebih berat lagi dari masa VOC. Kritik terhadap tanam paksa ini mulai muncul setelah timbul banyak perpindahan penduduk dan kematian seperti di Cirebon 1843, Demak 1843, dan Grobogan 1849, hal ini terjadi karena konsentrasi waktu petani pada tanaman ekspor, sementara tanaman untuk kebutuhan sendiri tidak terurus.

(Sumber foto www.kitlv.nl)