You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Artefak

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Artefak

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Artefak adalah semua benda yang dibuat oleh manusia. Di antara sejumlah artefak yang dibuat oleh manusia, terdapat artefak yang dapat digunakan untuk mengungkapkan gambaran lingkungan kuna. Jenis artefak yang dimaksud antara lain adalah relief dan prasasti. Akan tetapi, jenis relief maupun prasasti yang memuat gambaran lingkungan masa lalu jumlahnya tidak banyak. Berikut ini beberapa relief dan prasasti yang dapat digunakan untuk mengungkapkan gambaran lingkungan masa lalu.

Relief

Beberapa pakar arkeologi berpendapat bahwa objek yang digambarkan dalam relief candi dapat menggambarkan lingkungan yang berada di sekitar bangunan candi pada waktu itu. Akan tetapi, asumsi tersebut hanya dimungkinkan apabila relief yang dimaksud memiliki gaya naturalis. Hal ini disebabkan karena relief yang bergaya naturalis menggambarkan sesuatu berdasarkan model atau contoh nyata. Contoh relief bergaya naturalis adalah relief yang terdapat di Candi Borobudur (abad IX TU) dan Candi Prambanan (abad IX TU). Dengan demikian, berarti penggambaran lingkungan dalam relief kedua candi tersebut dapat digunakan sebagai data untuk merekrontruksi lingkungan kuna di Jawa Tengah yang sejaman dengan masa pendirian kedua candi tersebut.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan menginformasikan gambaran lingkungan alam yang melatarbelakangi keberadaan kedua candi tersebut. Secara garis besar lingkungan alam yang digambarkan pada relief kedua candi tersebut dapat dikelompokkan menjadi lingkungan pemukiman, hutan, sungai, laut, kolam, sawah, dan kebun buah-buahan merupakan lingkungan yang dieksploitasi manusia untuk keperluan substensi, sedangkan lingkungan pemukiman baik yang di lingkungan istana maupun yang di gunung merupakan gambaran tentang pemanfaatan ruang oleh manusia.

Di dalam berbagi jenis lingkunganyamg telah disebutkan, digambarkan pula berbagai jenis binatang dan tumbuhan. Jenis-jenis binatang yang berhasil diidentifikasikan melalui relief kedua candi tersebut antara lain adalah berbagai jenis ikan, berang-berang, kura-kura, kepiting, katak, ular, buaya, berbagai unggas, sapi, kerbau, kambing, domba, kera, babi, babi hutan, harimau, singa, kiang, anjing, gajah, kuda kelinci, kancil, tikus, dan kucing. Binatang-binatang tersebut ada yang digambarkan di habitat aslinya (misalnya di hutan, sungai, dan laut) dan ada pula yang digambarkan sebagai binatang domestikasi yang hidup di hutan habitat buatan, misalnya di lingkungan yang berdekatan dengan manusia. Dari yang segi pemanfaatannya, jenis binatang yang digambarkan dapat dikelompokkan menjadi binatang sebagai sumber makanan (baik yang merupakan binatang buruan maupun binatang piaraan), alat transportasi, serta binatang piaraan (klangenan).

Adapun berbagai jenis tumbuhan yang berhasil diidentifikasikan dari relief Candi Borobudur dan Prambanan antara lain adalah kelapa, siwalan (?), pinang, padi, jagung, jewawut, tebu, nangka , sukun, mangga, pisang, pinang, jeruk, durian, pandan, asam, rumput, teki, randu, jarak, mawar, melati, dan teratai. Jenis-jenis tanaman tersebut dapat dikelompokkan menjadi tanaman yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan, tanaman untuk ramuan obat-obatan dan wewangian, tanaman untuk bahan pakaian, dan tanaman hias.

Selain gambaran mengenai kekayaan sumberdaya alam sebagaimana telah diuraikan di atas, beberapa relief di Candi Borobudur juga memberikan gambaran kearifan manusia dalam mengelola lingkungannya. Relief seri IBa 336 misalnya memberikan gambaran cara mengolah sawah dengan menggunakan bajak yang ditarik dua ekor sapi. Digambarkan pula bahwa dalam mengolah sawah, masyarakat pada waktu itu harus menjaga sawahnya dari serangan hama tikus yang merusak tanaman padi, terutama pada saat padinya hampir siap dipanen (relief seri O no.65). tampaknya pada saat itu hama tikus merupakan ancaman yang sangat serius bagi para petani, sehingga masyarakat harus beramai-ramai melakukan perburuan tikus. Gambaran perburuan tikus dengan menggunakan anjing dan asap yang dimasukkan ke dalam sarang tikus, ditunjukkan melalui relief seri O no. 87. Cara semacam itu sampai saat ini masih digunakan di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Aktivitas manusia pada masa Jawa Tengah Kuna yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam tidak hanya ditunjukkan melalui kegiatan pertanian saja, tetapi uga ditunjukkan melalui aktivitas berburu dan menangkap ikan serta kura-kura. Relief Candi Borobudur seri O no.74 menunjukkan sekelompok orang yang berburu babi hutan dengan menggunakan sekelompok orang yang berburu babi hutan dengan menggunakan tombak; relief Seri O no.118 menggambarkan sekelompok orang yang berburu burung dengan menggunakan panah; serta relief Seri O no.89 dan 109 menggambarkan adegan orang menangkap kura-kura dan menjala ikan.

Hal yang menarik untuk disimak adalah beberapa adegan dalam relief Borobudur Seri O yang merupakan bagian dari cerita Karmawaibhangga. Relief tersebut memuat inti ajaran tentang karmaphala. Secara garis besar dijelaskan bahwa setiap perbuatan baik maupun buruk, akan menerima akibat yang setimpal. Akibat juga akan diterima oleh orang-orang yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Dalam relief seri O no. 87 dan 109 misalnya, digambarakan orang yang menangkap ikan dan kura-kura dan akibat yang diterima, yaitu direbus di dalam pasu besar yang diletakkan di atas api. Di samping berkaitan dengan latarbelakang kepercayaan tertentu, kedua contoh gambaran dalam relief tersebut dapat diintrepetasikan sebagai peringatan, dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan, bahwa mengeksploitasi secara berlebihan adalah ‘’dosa’’.

Sumber Tertulis

Sumber tertulis berupa prasasti yang menggambarkan kondisi lingkungan kuna Jawa Tengah adalah prasasti-prasasti yang berasal dari abad VIII-X TU. Di antara sejumlah prasasti yang berasal dari abad tersebut, terdapat prasasti Canggal (732 TU), yang ditemukan di kompleks Candi Gunungwukir (Muntilan), yang memberikan gambaran lingkungan Pulau Jawa. Disebutkan bahwa Jawa adalah wilayah yang sangat subur, menghasilkan jewawut, beras dan emas yang melimpah. Gambaran kesuburan Pulau Jawa sebagaimana diungkapkan dalam prasasti Canggal juga dicatat dalam Catatan Dinasti Tang dari Cina (618-906 TU). Dalam catatan tersebut diuraikan mengenai hasil pertanian Jawa yang menjadi komoditas perdaganagn, yaitu beras, gula kelapa, minyak kelapa, kapas, kesumba, pinang, mengkudu atau wungkudu (sebagai bahan pewarna, tekstil, seytara dengan indigo atau nila), bawang merah, bawang putih, sirih, serta buah-buahan.

Dari uraian pada berbagai sumber tertulis disimpulkan bahwa padi adalah hasil utama pertanian yang merupakan sumber makanan utama masyarakat pada masa Kerajaan Mataram Kuna yang menempati wilayah administrasi Jawa Tengah sekarang. Melimpahnya hasil padi disebabkan karena kondisi geografis Jawa Tengah sangat memungkinkan untuk uapaya pengembangan sistem pertanian secara intensif. Melalui sumber-sumber prasasti yang berasal dari abad IX-X TU, diperoleh informasi bahwa masyarakat Mataram Kuna mengusahakan pertanian jenis sawah, gaga, tegalan, dan kebun. Sawah adalah lahan pertanian padi yang menggunakan sistem irigasi; gag adalah lahan pertanian padi tanpa irigasi; tegalan adalah jenis lahan pertanian bukan padi (biasanya untuk menanam palawija) yang letaknya jauh dari rumah; sedangkan kebun adalah sebidang tanah di sekitar rumah (disebut juga pekarngan) yang biasanya digunakan untuk menanam buah-buahan.

Melalui sumber prasasti juga diperoleh informasi yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam. Adanya jabatan tuha buru, yaitu petugas yang mengatur masalah perburuan, dan berbagai jenis pajak yang berkaitan dengan eksploitasi semberdaya alam (misalnya pajak perburuan, pajak penangkapan burung dan ikan, pajak penambangan garam, serta pajak pengambilan tanaman wungkudu) menunjukkan bahwa pada masa Mataram Kuna masalah berkaitan dengan kelestarian lingkungan sudah menjadi perhatian pemerintah kerajaan, karena hal tersebut menyangkut harkat hidup orang banyak.

Gambaran lingkungan Jawa Tengah dari masa yang lebih muda, yaitu masa berkembangnya pengaruh Islam, tidak banyak ditemuai dalam sumber tertulis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena proses geologis yang terjadi relatif tidak berpengaruh terhadp perubahan lingkungan, tidak seperti yang terjadi pada masa Pliosen-Pleistosen. Dengan kata lain, kondisi lingkungannya relatif sudah sama dengan lingkungan sekarang. Gambaran perubahan lingkungan yang berhasil direkam hanyalah perubahna garis pantai di sepanjang pantai utara Jwa. Akumulasi sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara ke Laut wa dengan cepat telah memajukan garis pantai, sehingga Klenteng Sam Poo Kong di Semarang yang dahulu berada di dekat pantai sekarang letaknya jauh dari pantai. Penelitian yang dilakukan di bekas wilayah Kerajaan Demak juga menemukan bukti adanya perubahan garis yang dimaksud. Peristiwa geologis lainnya yang terjadi pada masa ini adalah bersatunya Gunung Muria dengan Pulau Jawa.

Kurangnya informasi mengenai lingkungan pada masa pengaruh Islam kemungkinan disebabkan karena perhatian para penulis naskah tidak terfokus pada permasalahan lingkungan, melainkan difokuskan pada kehidupan keagamaan yang berkembang pesat pada waktu itu. Sebenarnya terdapat kitab sastra Sunda Kuna (abad XV-XVI TU) yang mengisahkan perjalanan Bujangga Manik, seorang pangeran dari istana Pakuan, menyusuri Pulau Jawa. Kitab ini merupakan data topografi kuna yang cukup memadai, tetapi tidak menyebutkan gambaran lingkungan yang ada pada waktu itu.

Beberapa nama kota yang disebut dalam kitab tersebut adalah kota-koya yang sampai sekarang masih dapat dirunut keberadaanya di Jwa Tengah. Kota-kota yang dimaksud antara lain adalah Brebes, Pemalang, Pekalongan, Batang, Semarang, Demak. Dengan mengkaji lokasi kota-kota tersebut daat dikemukakan bahwa sampai dengan abad XV-XVI TU daerah landai di pantai utara Jawa masih menunjukkan tingkat kelayakan yang tinggi sebagai lokasi hunian, sehingga di sepanjang pantai tersebut muncul sejumlah kota yng beberapa di antaranya berkembang menjadi pusat kerajaan (Demak) dan kota pelabuhan (misalnya Pemalang dan Semarang).

Fakta di atas membuktikan ahwa lingkungan pantai utara Jawa sebagai daerah landai yang subur tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan rekaman catatan Belanda dari abad XIX TU pun masih menggambarkan pantai utara Jwa sebaai daerah subur yang cocok untuk aktivitas pertanian. Bukti tersebut diperoleh dari gambaran sawah yang terbentang di seapanjang pantai uatara Jawa.

Satu dari sedikait sumber tertulis masa Mataram Islam yang menginformasikan gambaran lingkungan adalah kitab Suluk Tambanglaras, yang kemudian dikenal sebagai Serat Centhini. Salah satu bagian dari tikab yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwono V (abad XVIII TU) ini memberikan gambaran suasana pedesaan di daerah Prambanan sampai Ratu Baka pada waktu pagi. Digambarkan bahwa pada pagi hari, ketika matahari terbit, terdengar suara berbagai jenis burung saling bersahutan, ada srigunting, munya, jethithut, kacer, sikatean, kutilang, dan jalak uren. Pada saat itu, penduduk sibuk mengerjakan sawah dan ladang. Pada waktu istirahat di tengah hari mereka mengunyah sirih dengan gambir dan tembakau, ada pula yang merokok. Tembakau rokok dilinting dengan menggunakan klobot dan diberi menyan madu sebesar biji kemiri. Uraian dalam Serat Centhini ini juga memberikan bukti bahwa wilayah Jawa Tengah adalah daerah yang kaya akan lahan pertanian. Kondisi ini sangat mendukung kelayakannya sebagai lokasi hunian.