You are currently viewing Kajian Pengembangan Situs Prasasti Cidanghiang

Kajian Pengembangan Situs Prasasti Cidanghiang

Prasati Cidanghiang atau dikenal juga dengan nama Prasasti Munjul terletak di aliran Sungai Cidanghiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Penamaan prasasti merujuk pada lokasi penemuannya. Keberadaanya dilaporkan pertama kali pada tahun 1947 oleh TB. Roesjan namun baru pada tahun 1954 mulai dipublikasikan hasil penelitiannya oleh Casparis dan Boechari.  Prasati Cidanghiang ditulis di media batu andesit yang berukuran sekitar 3, 2 m x 2,25 m dengan menggunakan teknik pahat. Aksara yang digunakan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta. Transliterasinya berbunyi :

Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja”

Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa daerah Banten pernah termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang bernama Purnawarman. Selain Prasasti Cidanghiang, Kerajaan Tarumanegara juga membuat 6 (enam) prasasti lainnya diantaranya Prasasti Ciareuteun dan Muara Cianten di Kabupaten Bogor. Diperkirakan masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara berakhir pada abad ke 7 Masehi.

Prasasti Ciadanghiang berstatus sebagai cagar budaya yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Pandeglang No. 432/Kep.62-Huk/2016 dan menjadi cagar budaya peringkat nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 204/M/2016.

Permasalahan utama dari prasasti ini adalah letaknya ada di dasar aliran sungai sehingga pada saat tertentu, khususnya musim penghujan dapat terkena luapan air sungai. Kondisi ini dialami juga oleh Prasasti Muara Cianten yang terletak di dasar muara sungai Ciareutuen dan Sungai Cianten, Kabupaten Bogor. Luapan air sungai dapat mengakibatkan prasasti rusak atau hurufnya menjadi aus. Pada kasus Prasasti Cidanghiang, beberapa upaya telah dilakukan diantaranya seperti pembuatan sodetan pada tahun 1997 untuk pengalihan arus air dan beronjong untuk mengatur debit air, membuat cungkup, dan dinding penahan air di sekeliling objeknya.

Prasasti merupakan bukti otentik yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, pasca ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat nasional perlu upaya pengembangan lebih lanjut agar dapat dimanfaatkan selaras dengan pelestariannya. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Banten, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 95 dan 96.

BPCB Banten sebagai UPT Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengawali upaya pengembangan dengan melakukan kegiatan Forum Grup Discussion (FGD) pada bulan Maret 2019 yang diikuti oleh seluruh instansi berwenang dari Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Banten, dan Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Beberapa kesepakatan hasil FGD diantaranya ialah Prasasti Cidanghiang tidak akan direlokasi dan perlu dilakukan sebuah kajian pengembangan yang komprehensif sebagai acuan pengembangan situs untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pada tanggal 21 hingga 27 Juli 2020, BPCB Banten menindaklanjuti hasil kesepakatan FGD dengan membentuk sebuah tim Kajian Pengembangan Situs Prasasti Cidanghiang dengan melibatkan Mushab Abdu Asy Syahid, S.Ars., M.Ars. dari Universitas Indonesia sebagai Narasumber.**(Ditulis oleh: Pahlawan Putra SN, S.S., Pamong Budaya Ahli Muda)