AGAMA TIRTA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PELESTARIAN PATIRTHAN DI KAWASAN PEJENG-BEDULU

0
3739

I Gede Arya Suartawan

Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

(dimuat dalam Buletin Sudamala Volume 04/1/2018)


Abstrak

Patirthan merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang berupa bangunan suci yang erat kaitannya dengan air. Air adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup sehingga keberadaan air begitu vital dalam setiap kehidupan di dunia ini. Di Bali ditemukan beberapa patirthan kuno yang masih difungsikan hingga sekarang seperti patirthan di Pura Tirta Empul, patirthan di Pura Gunung Kawi, patirthan Goa Gajah, dan patirthan di Pura Yeh Pulu. Patirthan yang terletak dikawasan Pejeng-Bedulu ialah patirthan Goa Gajah dan patirthan di Pura Yeh Pulu. Pemanfaatan air yang berasal dari patirthan menunjukkan ciri berkembangnya Agama Tirtha pada masyarakat di kawasan Pejeng-Bedulu. Inti dari Agama Tirtha ialah menganggap air sebagai elemen penting dalam prosesi upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan patirthan menjadi penting sebagai sumber air suci untuk memenuhi keperluan masyarakat dalam kegunaanya sebagai sarana upacara. Secara tidak langsung, kebutuhan masyarakat terhadap air sebagai sarana upacara akan berpengaruh pada pelestarian situs patirthan di kawasan Pejeng-Bedulu.

Kata kunci: patirthan di Pejeng-Bedulu, air, Agama Tirtha, pelestarian.

Pendahuluan

Patirthan merupakan sebuah bangunan perwujudan fisik dari tempat atau wadah air yang disucikan. Karena dimaksudkan sebagai wadah air suci, maka untuk dapat menampung air suci tersebut didirikanlah bangunan kolam. Dengan demikian patirthan dapat diartikan sebagai suatu bangunan yang inti bangunannya merupakan bangunan kolam sebagai wadah air suci (Patrizki, 2005: 20). Air suatu patirthan, selain digunakan untuk keperluan sehari-hari, juga digunakan untuk keperluan ritual keagamaan. Penanda bahwa air tersebut suci ialah adanya jaladwara (pancuran air) yang mengeluarkan air dari dinding patirthan ke kolam. Jaladwara ini biasanya berupa acra wanita ataupun berupa binatang yang dianggap memiliki kekuatan mistis, sehingga air yang keluar dari patirthan dianggap suci (Susanti, dkk, 2013: 2).

Dalam buku yang berjudul Patirthan Masa Lalu Masa Kini (2013), Nini Susanti dkk berpendapat bahwa patirthan di Bali dipandang sebagai penerus tradisi peradaban Hindu-Buddha di Jawa utamanya masa Majapahit. Beberapa pura di Bali yang memiliki patirthan kuno diantaranya Pura Tirta Empul, Pura Gunung Kawi, Goa Gajah, dan Pura Yeh Pulu. Fungsi patirthan pada situs tersebut masih dipertahankan hingga saat ini. Patirthanpatirthan tersebut masih dirawat dengan baik dan berfungsi sebagai tempat pemujaan dan melaksanakan upacara keagamaan.

Berkenaan dengan pembahasan tentang patirthan, perlu dijelaskan pula mengenai air sebagai komponen penting dari sebuah patirthan. Air adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup sehingga keberadaan air begitu vital dalam setiap kehidupan di dunia ini. Dunia ini diliputi hampir 70-75% oleh air dan tubuh manusia hampir 60-70% adalah zat cair yang berfungsi sebagai pelarut dan penyalur zat-zat makanan. Dalam kepercayaan Hindu, air yang berasal dari patirthan dianggap suci sehingga banyak digunakan sebagai pelengkap utama dalam suatu upacara keagamaan (Susanti, dkk, 2003: vi).

Penelitian Hooykas dalam bukunya yang berjudul Agama Tirtha (1964) yang meneliti tentang praktik beragama masyarakat Bali, memberikan informasi bahwa keberagaman kebudayaan masyarakat Bali khususnya dalam ritual keagamaan dominan menggunakan air. Hal tersebut yang membuat Hooykas menyimpulkan bahwa agama yang berkembang di Bali ialah Agama Tirtha. Jika diperhatikan secara seksama pada ritual agama Hindu-Bali, jelas terlihat bahwa semua kegiatan keagamaan selalu menggunakan air sebagai salah satu sarana utama.

Dengan berkembangnya Agama Tirtha, maka keperluan masyarakat terhadap air suci untuk sarana upacara akan sangat didukung dengan adanya patirthan. Asumsi tersebut mengarahkan pada sebuah pemasalahan mengenai bagaimana keberadaan Agama Tirtha dapat mendukung upaya pelestarian situs patirthan di kawasan Pejeng-Bedulu. Penulis akan melihat fungsi patirthan pada masyarakat masa lalu maupun fungsi patirthan di masa kini dan penggunaan air pada Agama Tirtha. Dari kedua hal tersebut dapat dilihat bagaimana upaya pelestarian situs patirthan dalam hubungannya dengan penggunaan air pada Agama Tirtha. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui keterkaitan antara Agama Tirtha yang berkembang pada masyarakat Bali dengan upaya pelestarian situs patirthan di kawasan Pejeng-Bedulu.

Hasil dan Pembahasan

Patirthan di Kawasan Pejeng-Bedulu

Pada tulisan ini akan menggunakan dua lokasi patirthan yang sekiranya sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Patirthan-patirthan tersebut ialah patirthan di situs Goa Gajah dan patirthan di situs Yeh Pulu. Patirthan di kompleks kepurbakalaan Goa Gajah terletak di halaman depan mulut Goa Gajah yang merupakah kolam dengan posisi yang lebih rendah dari lahan sekitarnya. Kolam patirthan ini terbagi menjadi tiga ruang, ruang tengah lebih sempit dari dua ruang lain yang berada di kanan-kirinya. Pada kolam ini terdapat enam arca pancuran dengan masing-masing tiga arca pada ruang kolam yang lebih lebar. Arca pancuran atau arca jaladwara tersebut memiliki tinggi sekitar 2 m. Ke-enam arca tersebut dalam posisi berdiri dengan kedua tangan di depan perut sambil membawa buli-buli berlubang yang dari dalamnya mengeluarkan air yang memancur ke dalam kolam (Susanti, dkk, 2013: 130-132).

Patirthan di Situs Pura Goa Gajah, Bedulu.

Pada awal penemuannya, banyak penduduk sekitar mengambil air dari patirthan ini untuk keperluan sehari-hari termasuk untuk mandi. Setelah dilakukan penataan kembali pada kawasan Goa Gajah, patirthan ini kemudian dikembalikan ke fungsi utamanya sebagai patirthan suci yang airnya hanya digunakan untuk keperluan upacara keagamaan saja. Walaupun dilakukan penataan kembali setelah awal penemuannya, namun tidak ada penambahan struktur pada patirthan tersebut hingga saat ini. Berbeda halnya dengan patirthan di Pura Tirta Empul yang sudah banyak mengalami penambahan struktur sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.

Peningglan purbakala lainnya yang berhubungan dengan air di kawasan Pejeng-Bedulu ialah Pura Yeh Pulu. Pura ini dikenal karena adanya relief pada dinding batu yang dipahat dengan cerita tertentu yang belum diketahui ceritanya hingga sekarang. Kata Yeh Pulu berasal dari kata “Yeh” yang artinya air dan “Pulu” yang artinya gentong yang pada saat ini gentong tersebut nampak diletakkan pada kolam mata air suci yang diperkirakan sudah ada sejak masa lalu. Dari pengertian tersebut jelas bahwasanya keberadaan Pura Yeh Pulu erat kaitannya dengan air. Kolam air suci pada situs ini terletak di depan dinding relief Yeh Pulu masih mengeluarkan air sampai sekarang. Air dari kolam tersebut dianggap suci dan oleh masyarakat sekitar digunakan untuk keperluan upacara keagamaan (Susanti, dkk, 2013: 135-136).

Secara umum patirthan dalam kompleks situs purbakala di kawasan Pejeng-Bedulu mendapatkan tambahan fungsi baru yaitu sebagai objek wisata. Fungsi baru ini lebih dominan daripada fungsi keagamaannya karena pengambilan air suci untuk keperluan upacara keagamaan hanya berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja sedangkan kedatangan wisatawan ke objek tersebut dapat terjadi setiap hari. Meskipun menjadi objek wisata, fungsi religius patirthan tetap terjaga karena para wisatawan sudah diarahkan untuk mengikuti segala peraturan demi terjaganya kesucian situs dan utamanya patirthan tersebut.

Agama Tirtha dan Upaya Pelestarian Situs Patirthan di Kawasan Pejeng-Bedulu

Dalam masyarakat Hindu-Bali setiap sumber air seperti patirthan dipercayai disemayami oleh kekuatan para dewata. Kepercayaan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Berbagai sumber air di Bali mempunyai dua nilai yaitu nilai religius sebagai sumber air suci (tirta) atau air yang disucikan untuk keperluan upacara keagamaan dan nilai pragmatis sebagai sumber air bersih yang diperlukan oleh masyarakat di sekitar patirthan untuk keperluan hidup sehari-hari (Susanti, dkk, 2013: 139).

Kebudayaan Bali sebagian besar merupakan kebudayaan yang turun temurun seperti contohnya kebudayaan Bali yang mengembangkan agama Hindu-Bali atau Hindu Tirta. Berdasarkan nama agama tersebut diketahui bahwa masyarakat Bali sangat mengutamakan penggunaan air suci (tirta) dan memuliakan sumber-sumber air. Penggunaan air suci atau tirta pada masyarakat Bali dari masa lalu hingga masa kini nampak sangat jelas. Penghormatan dan kepercayaan terhadap air diimplementasikan pada beberapa kebudayaan Bali seperti pemanfaatan air untuk berbagai keperluan sebagai berikut.

  • Air Sebagai Sarana Upacara.

Pada saat melaksanakan dharma agama, air merupakan salah satu sarana upacara. Air adalah sarana utama dalam melaksanakan Panca Yadnya. Air yang dipergunakan dalam suatu upacara disebut air suci atau tirta. Ada dua jenis tirta sebagai air suci. Pertama, tirta alami yaitu air suci yang berasal dari alam tanpa mendapatkan perlakuan apapun. Kedua, tirta yang dibuat oleh pendeta dengan cara mengambil air dari tempat tertentu kemudian dilakukan penyucian dengan mantra-mantra. Air suci atau tirta ini selanjutnya digunakan dalam berbagai upacara agama Hindu. Tirta dipercaya sebagai anugerah Hyang Widhi yang berfungsi sebagai sarana pembersihan yang sakral yang dapat menyucikan apa yang disucikannya. Pada beberapa upacara agama Hindu, masyarakat akan mengambil air suci dari beberapa patirthan sebagai syarat pelaksanaan suatu upacara. Sangat jelas disini patirthan memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan beragama masyarakat masa kini dan mungkin juga masyarakat masa lalu sebagai penyedia air suci.

  • Air Sebagai Sarana Pengelukatan.

Malukat berasal dari kata lukat yang berarti bebas dari mala (hal tidak baik). Malukat bermakna sebagai pembersihan dan penyucian secara lahir batin. Malukat dilakukan dengan cara menyirami seluruh tubuh dengan air. Diawali dengan menyiramkan air dari kepala kemudian ke seluruh tubuh. Melukat juga dapat dilakukan di laut, mata air, sungai, dan juga pancuran atau patirthan. Pada masyarakat masa kini, malukat dilakukan untuk memperoleh ketenangan dan kesucian. Di patirthan Goa Gajah dan Yeh Pulu nampaknya tidak bisa digunakan langsung untuk melakukan ritual malukat. Masyarakat yang ingin melakukan ritual malukat pada dua patirthan tersebut akan mengambil air dari masing-masing patirthan lalu dibawa pulang. Ritual penglukatan akan dilakukan di rumah yang ditambah dengan beberapa sarana upacara lain serta bantuan dari pendeta.

  • Air Sebagai Sarana Pengobatan.

Dalam dunia pengobatan tradisional Bali (usada), air berfungsi sebagai obat, pelarut obat, dan sebagai penyerta obat. Pengobatan ini biasanya dilakukan dengan bantuan balian (orang yang memiliki kemampuan spiritual). Peran balian pada proses ini sangatlah penting. Balian akan mengucapkan mantra-mantra dengan tujuan menenangkan pikiran dan perasaan pasiennya sehingga akan lebih cepat sembuh akibat adanya kedamaian dalam diri pasien itu sendiri. Terkadang pengobatan juga dilakukan dengan cara mandi di patirthan dengan memilih hari dan waktu yang tepat sesuai anjuran balian. Disini kembali muncul peran patirthan dalam kebudayaan masyarakat Bali yang digunkan sebagai sarana pengobatan tentunya dengan bantuan balian.

  • Pelestarian Sumber Air.

Air yang memiliki kedudukan yang sangat penting di bumi, wajib dilindungi kemurnian dan kuantitasnya dari pencemaran akibat ulah manusia. Di Bali, pelestarian sumber air dilakukan secara sekala (alamiah) dan niskala (supranatural). Pelestarian secara sekala dilakukan dengan cara menanam dan memelihara pepohonan yang tumbuh disekitar sumber air. Pelestarian ini juga didukung dengan adanya awig-awig (hukum adat) sehingga apabila ada perusakan lingkungan yang dilakukan oleh oknum tertentu maka akan dikenakan sanksi sesuai awig-awig tersebut. Pelestarian secara niskala dilakukan dengan cara melaksanakan upacara yang terkait dengan penghormatan terhadap sumber air. Di Bali, sumber air sangat dihormati sehingga banyak sumber air dikeramatkan dan dibuatkan bangunan suci yang bisa juga disebut dengan patirthan. Perlakuan seperti ini dirasa lebih baik karena masyarakat akan enggan untuk merusak suatu sumber air karena takut akan mendapat malapetaka selain sanksi sosial yang pasti akan diterima. Pelestarian juga akan berdampak pada kesucian air dari patirthan tersebut sehingga bisa digunakan untuk keperluan sarana upacara keagamaan (Prastika, 2015: 210-214).

Sumber Mata Air di Situs yeh Pulu, Bedulu

Dari berbagai kegunaan air yang telah disebutkan di atas, sangat jelas bahwa air memiliki fungsi atau kegunaan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Kegunaan air tersebut didukung dengan sebuah konsepsi dalam kehidupan masyarakat Bali tentang perlunya adanya hubungan baik kepada Tuhan, manusia, dan lingkungan yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana  (tiga penyebab kesejahteraan). Terkait dengan air, upaya menjaga hubungan baik dengan lingkungan dilakukan dengan pelestarian terhadap alam sekitar sehingga keberadaan air akan tetap terjaga dan tetap dapat difungsikan sesuai dengan keperluan dan kepercayaan masyarakat (Suyoga dan Anandhi, 2015: 118).

Perlu kiranya ditegaskan kembali bahwa salah satu upaya menjaga sumber air ialah dengan cara menambahkan bangunan suci disekitar sumber air yang dalam istilah arkeologi disebut patirthan. Patirthan merupakan salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat masa lalu dan juga masa kini. Keberadaan patirthan menjadi sangat vital karena menjadi penyedia air suci yang digunakan untuk melakukan upacara keagamaan. Banyaknya penggunaan air dalam upacara yadnya di Bali sehingga orang Bali pernah menyebut agama yang meraka anut dengan sebutan Agama Tirtha. Hal ini didukung dengan fakta bahwa orang Bali mengapresiasi air atau tirta sebagai penuntun, pelindung, dan kekuatan hidup, sehingga bisa dikatakan bahwa Agama Tirtha adalah pengetahuan kesucian yang dalam keseharian dipahami sebagai tradisi di Bali (Sukarma, 2015: 95).

Hal menarik yang bisa diamati ialah adanya hubungan timbal balik antara keberadaan patirthan dengan keberlangsungan Agama Tirtha. Adanya patirthan akan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan air suci untuk keperluan upacara dan di sisi lain dengan adanya kebutuhan akan air suci maka masyarakat akan senantiasa menjaga dan merawat keberadaan patirthan sehingga kelestarian patirthan tetap terjamin dan bisa difungsikan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan

Pemanfaatan air yang berasal dari patirthan menunjukkan ciri berkembangnya Agama Tirtha pada masyarakat di kawasan Pejeng-Bedulu. Inti dari Agama Tirtha ialah menganggap air sebagai elemen penting dalam prosesi upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa patirthan dikawasan Pejeng-Bedulu seperti patirthan Goa Gajah dan Yeh Pulu. Patirthan-patirthan tersebut merupakan peninggalan dari masa lalu yang masih bertahan hingga sekarang baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hingga sekarang air yang yang berasal dari patirthan tersebut dianggap memiliki tingkat kesucian yang tinggi sehingga banyak digunakan untuk keperluan upacara keagamaan. Begitu pentingnya sumber air sehingga masyarakat sangat memperhatikan kelestariannya yang terlihat dari adanya bangunan patirthan sebagai uapaya melindungi sumber air sehingga tetap dapat difungsikan sesuai kebutuhan masyarakat.

 

Daftar Pustaka

Hooykas, C. 1964. Agama Tirtha. Five Studies in Hindu-Balinese Religion. Amsterdam: NV. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij.

Ninie Susanti, dkk. 2013. Patirthan Masa Lalu Masa Kini. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Patrizki, Ismar. 2005. “Tinjauan Arsitektur Patirthan Abad X-XI Di Jawa Timur”. Skripsi. Denpasar: Jurusan Arkeologi Unud.

Prastika, I Nyoman. 2015. “Air Dalam Kebudayaan Bali” dalam Revitalisasi Agama Tirtha di Bali. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.

Sukarma, I Wayan. 2015. “Melukat: Upaya Mencapai Kesucian”, dalam Revitalisasi Agama Tirtha di Bali. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.

Suyoga, I Putu Gede dan I Made Gede Anandhi. 2015. “Tata Air Dalam Tata Ruang Bali” dalam Revitalisasi Agama Tirtha di Bali. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.