“ MEGALITIK NIAS PERMASALAHAN DAN PELESTARIANNYA”.
A . Pendahuluan
Di Indonesa peninggalan kebudayaan megalitik ini tersebar di beberapa wilayah antara lain di Nias, Samosir, Pakpak Bharat dan Dairi Provinsi Sumatera Utara. Kebudayaan megalitik berkembang di Indonesia pada sekitar abad pertama hingga ke-5 Masehi. Megalitik memiliki makna: mega= besar; litik berasal dari kata litos=berarti batu. Secara harfiah megalitik berarti batu besar. Secara umum pengertian megalitik disini adalah hasil kebudayaan manusia yan berupa batu-batu besar. Di Provinsi Sumatera Utara tinggalan megalitik paling dominan ditemukan di kepulauan Nias, dimana kepulauan ini merupakan satu pulau utama dan sejumlah pulau kecil lainnya (pulau batu) yang menghadap Samudera Hindia, di lepas pantai barat Sumatera dengan luas sekitar 5.625 kilometer persegi atau 7,8 persen dari luas Provinsi Sumatera Utara. Batas-batas wilayahnya adalah; sebelah utara berbatasan dengan pulau-pulau banyak Provinsi Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan pulau-pulau Mentawai Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan dengan pulau- pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah barat berbatasan dengan Lautan Indonesia. Pulau ini menyimpan sejumlah misteri dan keunikan, mulai dari kehidupan sehari-hari di desa tradisional, culture landscape (saujana budaya) hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan. Masyarakat Nias secara turun temurun menyebut dirinya sebagai Ono Niha (orang Nias), secara harfiah berarti anak manusia yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku yang berbahasa Austronesia sebagai salah satu leluhur Nusantara yang datang paling awal di dataran Asia. Dari Sejumlah bukti peradaban tertua, masyarakat di Nias sering dihubungkan dengan tradisi megalitik yang hingga kini masih terlihat keberadaannya di daerah tersebut.Tinggalan megalitik tersebar di berbagai desa di wilayah Pulau Nias. Kebanyakan tinggalan megalitik tersebut berada di bukit-bukit dan pegunungan. Megalitik Nias berupa tinggalan manusia masa lalu yang berasal dari batu itu sangat unik dan hampir tiap komplek situs megalitik tersebut memiliki beragam jenis bentuk dan namanya sepert: menhir/behu, patung osa-osa, neogadi,owo-owo, daro-daro. Semua itu memiliki arti dan fungsi masing-masing, dan kandungan nilai filosofisnya masih dianut bahkan masih mempunyai relevansi dengan kehidupan masyarakat sampai kini. Patung-patung Nias yang dibuat pada masa itu memiliki makna sebagai simbol, sakti kekuatan, perwujudan dan perlindungan yang berfungsi sebagai kultus pemujaan leluhur dan ritus agar senantiasa diberi perlindungan, kesejahteraan, keharmonisan dan kesuburan.
a. Menhir
Ini dapat diartikan sebagai batu tegak yang didirikan untuk tujuan kaagamaan, antara lain sebagai tanda tempat penguburan yang telah berlangsung sejak Zaman neolitik (Batu Baru) jadi satu dekade sebelum zaman Megalitik. Menhir dibuat dari sebuah batu monolit (tunggal) yang dipahat agak pipih dan panjang. Menhir ini ada yang lurus, dan ada yang melengkung seperti pedang, bahkan ada yang menyerupai kepala hewan seperti buaya, ular dan kuda/kambing. Di samping itu menhir juga ada yang memiliki pola hias seperti goresan geometris, sulur atau lukisan hewan. Menhir memiliki beberapa fungsi antara lain:Untuk dijadikan sarana penobatan raja atau kepala suku, atau berfungsi sebagai lambang dan status kesukuan. Juga sebagai tempat pemujaan arwah leluhur atau mengagungkan nenek moyang.
b. Patung Osa-osa
Osa-osa merupakan sebuah batu yang dibentuk oval menyerupai binatang berkaki empatyang diambil dari jenis binatang lasara berkepala satu (neobehe) atau tiga (sitilubagi). Binatang ini menyenyerupai bentuk kambing dan dianggap sebagai pelindung dalam masyarakat.
c. Neogadi
Neogadi adalah sebuah batu yang dibentuk bulat dan memiliki penyangga, disebut juga batu datar atau dolmen. Pada neogadi ini biasanya diberikan pola hias tumpal atau segitiga runcing, yang disebut dalam istilah mereka “niofulayo”. Pola hias seperti ini melambangkan keagungan yang tidak boleh dilanggar dan biasanya dipergunakan oleh kalangan raja atau bangsawan. Peletakan neogadi ini biasanya berdampingan dengan menhir/behu.
d. Owo-owo
Owa-owa merupakan tempat cuci kaki yang terbuat dari batu yang mempunyai lubang segi empat.
e. Daro-daro (Tempat Duduk batu)
Tempat duduk batu atau disebut daro-daro ini terbuat dari papan batu dan mempunyai kaki denga teknik penyambungan.
B. Beberapa Situs Megalitik di Nias
1. Kota Gunung Sitoli :
– Situs Kompleks makam Sibatua dan megalitik ononamalo Situs ini terletak di Desa Ononamolo, Kec. Gunung Sitoli Selatan, kota Gunung Sitoli. Tepatnya di Jalan Pelud Binaka Km. 11 tepatnya berada diatas puncak bukit denganketinggian 100 m diatas permukaan laut. Titik Koordinat UTM 47 N 350653 134315. Untuk mencapai lokasi ini harus dengan berjalan kaki mendaki bukit. Tentu saja tidakgamang bagi yang tidak biasa naik gunung tentu ini akan cukup melelahkan. Apalagi jika musim hujan lebih susah lagi untuk bisa menjangkau nak ke atas. Namun di atas bukt megalitik ini kembali areal datar dan ketika melihat kebawah akan nampak pemandanganyang sangat indah. Di dalam komplek situs ini terdapat beberapa jenis/bentuk megalitik yaitu meja batu (dolmen), menhir, batu datar/altar atau dane-dane dan sebuah patungleluhur (arca menhir). Megalitik ini ditemukan dalam dua deretan yang membujur dari arah timur-barat. Dari pola keletakan megalitik ini diperkirakan dahulu di tempat ini sebagai pemukiman penduduk dan merupakan tempat sembahyang yang tepat posisinya di depan rumah. Batu datar/altar di dalam komplek ini berjumlah 16 buah terbuat dari jenis batu andesit yang sifatnya monolit. Di dekat situs ini terdapat juga sebuah makam Islamyang dikenal dengan sebutan makam Sibatua, kurang lebih 35 meter dari komplek megalitik ononamolo. Jumlah makam 4 buah dengan tipe nisan Aceh dalam dua gaya/bentuk yaitu pipih penataan bahu dan balok segi empat. Batu nisan ini sudahmengalami kerusakan dan tidak insitu lagi bahkan ada satu nisan yang sudah diganti dengan nisan baru yang tidak sejenis dan cara pemasangannya dalam posisi terbalik.Makam ini masih dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan meyakini suatu makam ajaib yang muncul secara tiba-tiba dan dapat memberikan syafaat jika berkaul di tempat itu.
2. Kabupaten Nias.
– Megalitik Hilimaliwa’a terletak di Desa Idano Gawo Kec. Idano Gawo, dengan jarak dari ibu kota Gunung Sitoli kurang lebih 37 km. Situs ini pada masa dahulu merupakan bekas perkampungan tua yang dihuni oleh Yawasihona Gea, mempunyai keturunan sampai sekarang 7 generasi. Megalitik ini terdiri dari batu-batu datar dan menhir.
3. Kabubaten Nias Barat.
– Megalitik Baladano Laina, Desa Mandrehe, Kec. Mendrehe, Kabupaten Nias Barat. Kawasan situs ini berdekatan dengan aliran sebuah sungai besar yaitu Sungai Oyo. Situs ini dapat dijangkau melalui jalan utama Gunung Sitoli – Onolimbu dengan menggunakan transportasi mobil, motor atau becak roda tiga dengan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam, sampai di jembatan Sungai Oyo Desa Baladano, dilanjutkan dengan menyusuri sungai dan persawahan sejauh 2 km, kemudian dengan berjalan kaki mendaki bukit setinggi 50 meter sampai ke lokasi situs. Situs ini terdiri dari kumpulan batu-batu megalitik berbentuk bulat, seperti meja batu, batu menhir, serta patung leluhur.
Kab. Nias Selatan :
– Situs Tetegewo, terletak di Desa Hilisawoete, Kecamatan Lahusa, kira-kira 15 km dari kota Kecamatan Lahusa menuju Gomo. Situs ini dapat dijangkau melalui ruas jalan kabupaten kemudian harus melewati jalan-jalan berbatu yang sempit dengan berjalan kaki di dalam hutan dan menaiki bukit yang dikelilingi oleh jurang yang cukup dalam. Situs ini telah mewarisi sebelas generasi dan dahulu merupakan lokasi pemukiman besar seperti Bawomataluo. Namun setelah sekian generasi tidak ada perawatan sehingga pemukiman di tetegewo ini tidak meninggalkan sisa dan hanya tinggal satu rumah dan pertapakan saja. Sedangkan megalitiknya masih bertahan dan terus dipelihara oleh juru rawat/juru pelihara meskipun tidak optimal. Lokasi situs ini terletak agak terpisah dari rumah-rumah penduduk lainnya sehingga rawan terjadi upaya pencurian. Pagar situs kini sudah mulai rusak yang membuat para pencuri lebih leluasa untuk melakukan pencurian megalitik ini.
-Megalitik Nioniha Bitaka, Hiliana I dan II, Desa Lolowa’u, Kec. Lölöwa’uKomp. Megalitik pulau-pulau hayu dan sifika, Desa Pulau-pulau Batu, Kec. Pulau-pulau Batu. Situs Hilimegai dan Tögizita, Kec. Lölöwa’u Megalitik Hilinawalö Fau dan Gua Lubo Zilewe, Kec. Teluk Dalam Komp. Megalitik Lahusa Idanotae, Desa Idanotae Gomo, Kec. Gomo. Komp. Megalitik Tetegewo, Desa Tetegewo, Kec. Lahusa. Megalitik Boronadu, Desa Sipalago, Kec. Gomo
B. Permasalahannya
“ Inventarisasi situs-situs megalitik di Nias sudah dilakukan beberapa kali, namun data terperinci tentang jumlah, jenis, ukuran, gambar/foto dan denah/peta lokasi megalitik tersebut belum terhimpun secara lengkap dan belum ada pemaduan data di pusat dan daerah. Pelestarian ini masih terbatas karena terbatasnya dana pemerintah sehingga pelestarian dilakukan berdasarkan skala perioritas dari situs-situs yang ada. Disamping itu juga SDM pengelolaan masih kurang, terutama tenaga teknis pemugaran dan konservasi untuk melakukan tindakan preventif dan konservatif pada situs megalitik di Nias. Belum maksimalnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya situs-situs megalitik tersebut sehingga sbagian masyarakat rela enukarkannya dengan rupiah hanya untuk keperluan kebutuhan hidup.
B. Usaha-usaha pelestarian
1. menginventarisasi/mendata, mengukur, mendokumentasi seluruh cagar budaya yang ada di nias, untuk dapat dikaji dan dinilai gunamemperioritaskan upaya pelestarian dengan menempatkan juru pelihara atau juru rawat cagar budaya. 2.melakukan perbaikan-perbaikan atau pemugaran cagar budaya yang mengalami kerusakan, agar dapat dikembalkan kepada bentuk semula.
3. melakukan perawatan rutinitas secara tradisional yang dilaksanakan oleh juru pelihara dan dapat juga dilakukan konservasi kimiawi oleh tenaga ahli konservasi.
UPAYA MENGATASI PERMASALAHAN
Perlu disusun program inventarisasitinggalan megalitik di Pulau Nias, dan pengkodifikasian hasil inventarisasi tsb dalam program nasional yang berkelanjutan sebagai program nasional Dirjenbud, Dinas pemda provinsi dan kabupaten/kota dapat melakkan upaya pendekatan kepada masyarakat dan memberikan pemahaman serta mengajak mereka untuk berperan serta dalam kepedulian dan pelestarian situs-situs megalitik tersebut, perlu dibina kerjasama antara instansi yang menangani pelestarian dengan instansi yang menyelenggarakan pemanfaatan (pariwisata) sehingga situs-situs yang telah dilakukan pengembangan dan pemugaran dapt dijadikan secagai objek wisata, perlu dikembangkan ketrampilan dan kreativitas masyarakat dalam upaya peningkatan ekonomi sehingga taraf hidup masyarakat setempat lebih mapan. Hal yang tidak kalah penting dalam upaya pelestarian adalah rencana pemanfaatan dan pengelolaan yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu upaya pengelolaan harus dimulai dengan menumbuhkan apresiasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian peninggalan budaya yang dapat dimanfaatkan dan senantiasa mempunyai nilai dan makna. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya arkeologi sebagai warisan budaya. Paradigma dulu lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dan akademik (arkeolog pemerintah) sedangkan sekarang mulai digantikan paradigmanya menjadi arkeolog publik (Tanudirjo, 1998). Paradigma arkeologi publik memandang bahwa warisan budaya pada hakikatnya adalah milik semua orang, dan bukanlah milik individu-individu tertentu, sehingga semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya arkeologi tersebut masyarakat berhak untuk mengetahui serta merasakan manfaatnya (Little, 2002).
Masyarakat memiliki peran yang sangat urgen dalam pelestariannya. Akan tetapi, hal ini tidak cukup jika tidak ada kerja sama dengan berbagai pihak. Beberapa prinsip merupakan satu kesatuan faktor dalam meningkatkan proses pelestarian warisan budaya, karena upaya pelestarian merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh, komprehensif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dibutuhkan masyarakat sebagai pusat pengelolaan, kerja sama dan kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor, terciptanya mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasiapresiasi dan aspirasi masyarakat, dukungan dan penegakan aspek legal, dan perlu diwujudkan pasar pelestarian yang menunjang kesinambungan pengelolaan. (Syam, seri 2,2009).(nurdin)